Oleh: Herman Sijaya (Pemerhati Takalar)
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Seratus hari bukanlah waktu yang panjang untuk mengubah wajah sebuah daerah. Namun, ia cukup untuk menunjukkan arah, keseriusan, dan komitmen dalam menapaki jalan perubahan. Di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, kepemimpinan baru pasangan yang akrab disapa Daeng Manye dan Hengky mencoba membuktikan bahwa awal sebuah pemerintahan bisa menjadi fondasi penting untuk membangun masa depan daerah yang lebih baik.
Dengan visi besar ”Takalar Maju dan Berdaya Saing melalui Ekonomi Digital”, pasangan ini mengusung misi pembangunan berkelanjutan yang menitikberatkan pada transformasi ekonomi, pemberdayaan manusia, dan modernisasi birokrasi. Seratus hari pertama menjadi waktu uji coba, konsolidasi, dan refleksi atas komitmen dan janji politik yang pernah dilontarkan kepada rakyat Takalar.

Mari kita telaah lebih dalam, apa saja yang telah dilakukan, apa yang masih menjadi tantangan, dan bagaimana langkah ke depan bisa dirancang dengan lebih tepat dan adaptif.
1. SDM Unggul: Fondasi Menuju Takalar Cerdas dan Sehat
Salah satu misi utama pasangan Daeng Manye-Hengky adalah *pengembangan sumber daya manusia unggul melalui literasi, inovasi, serta pelayanan kesehatan yang prima. Dalam 100 hari pertama, beberapa langkah strategis sudah dimulai.
Salah satunya adalah peluncuran program ”Gerakan Literasi Digital Desa” yang melibatkan sekolah, rumah ibadah, dan komunitas pemuda. Program ini bertujuan memperkenalkan dasar-dasar teknologi informasi kepada generasi muda, pelaku UMKM, dan masyarakat desa agar tidak gagap dalam memasuki era digital.
Di bidang kesehatan, revitalisasi layanan Puskesmas dan optimalisasi penggunaan aplikasi kesehatan digital mulai diperkenalkan. Masyarakat mulai dapat melakukan pendaftaran online, mendapatkan informasi jadwal dokter, dan melakukan konsultasi awal melalui layanan daring. Meski implementasinya masih di tahap uji coba, langkah ini menunjukkan arah yang progresif.
Kritik dan Saran:
Namun perlu disadari bahwa pengembangan SDM bukan sekadar literasi digital. Peningkatan kualitas tenaga pendidik, insentif bagi tenaga medis di daerah terpencil, dan pembangunan karakter berbasis nilai-nilai lokal harus tetap menjadi perhatian utama. Program literasi dan inovasi hendaknya tidak berhenti pada pelatihan semata, tapi diiringi dengan pendampingan jangka panjang dan tolok ukur keberhasilan yang jelas.
2. Infrastruktur Terintegrasi: Menyambung Potensi, Menggerakkan Ekonomi
Pembangunan infrastruktur selama ini kerap dianggap sebagai tolok ukur kemajuan daerah. Daeng Manye-Hengky memahami betul bahwa tanpa infrastruktur yang memadai, ekonomi lokal tak akan mampu tumbuh secara optimal. Dalam 100 hari pertama, pemerintah daerah mulai memetakan kebutuhan infrastruktur terintegrasi di tiga sektor utama: pariwisata, pertanian, dan perikanan.
Pembangunan jalan penghubung desa ke sentra pertanian dan nelayan menjadi prioritas. Beberapa titik pasar tradisional mulai direnovasi untuk memperbaiki akses dan kebersihan. Sementara itu, daerah pesisir mulai dijadikan proyek percontohan pengembangan wisata berbasis desa dengan pendekatan digital marketing melalui pelatihan UMKM.
Kritik dan Saran:
Pembangunan fisik jangan sampai melupakan asas keberlanjutan. Pastikan bahwa infrastruktur yang dibangun benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat, bukan sekadar proyek jangka pendek. Melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pemeliharaan infrastruktur akan memperkuat rasa kepemilikan dan tanggung jawab bersama.
3. Teknologi Informasi untuk Efektivitas Layanan Publik
Salah satu tonggak utama visi “Takalar Digital” adalah pemanfaatan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik. Dalam 100 hari ini, Pemerintah Kabupaten Takalar telah meluncurkan portal layanan publik digital terpadu yang dinamakan ”SapaTakalar”, tempat masyarakat dapat mengakses informasi, menyampaikan keluhan, hingga memantau status administrasi mereka.
Beberapa kantor kelurahan mulai menerapkan sistem administrasi berbasis digital, mulai dari pencatatan kependudukan hingga pelayanan surat menyurat. Ini tentu menjadi kemajuan besar dibandingkan sistem manual yang selama ini rawan lambat dan tak efisien.
Kritik dan Saran:
Transformasi digital bukan hanya soal alat dan aplikasi, tapi juga soal kesiapan SDM dan adaptasi budaya kerja. Banyak pegawai yang masih belum terbiasa dengan teknologi digital. Maka dibutuhkan pelatihan berkelanjutan dan dukungan teknis yang memadai agar sistem ini tidak mandek di tengah jalan. Selain itu, keamanan data dan transparansi informasi juga harus menjadi perhatian utama.
4. Optimalisasi Sumber Daya Alam: Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri
Takalar dikenal memiliki potensi besar di bidang pertanian dan maritim. Oleh karena itu, misi untuk mengoptimalkan sumber daya alam demi mendorong daya saing ekonomi menjadi langkah strategis yang patut diapresiasi.
Dalam 100 hari pertama, Pemerintah Daerah melakukan pendataan ulang lahan pertanian dan tambak. Mereka juga bekerja sama dengan perguruan tinggi dan lembaga penelitian untuk mengembangkan sistem pertanian berbasis digital misalnya melalui sensor tanah, sistem irigasi pintar, dan pemasaran hasil tani secara daring.
Sementara itu, di sektor perikanan, mulai diperkenalkan sistem cold storage desa dan pelatihan digitalisasi nelayan untuk membantu proses distribusi dan perdagangan ikan segar.
Kritik dan Saran:
Optimalisasi sumber daya alam membutuhkan sinergi antara hulu dan hilir. Jangan sampai produk pertanian dan perikanan melimpah, tetapi tidak ada pasar atau sistem distribusi yang memadai. Pemerintah daerah perlu menjembatani kerja sama dengan investor, koperasi, dan mitra distribusi digital secara lebih aktif agar nilai tambah tetap berada di tangan masyarakat lokal.
5. Sistem Jaminan Sosial: Menjaga yang Rentan, Menguatkan yang Lemah
Daeng Manye dan Hengky bertekad menghadirkan sistem jaminan sosial yang menyeluruh, tidak hanya dalam bentuk bantuan tunai, tetapi juga dukungan terhadap pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial lainnya.
Dalam 100 hari pertama, program ”Kartu Sejahtera Takalar” mulai disosialisasikan, yang di dalamnya memuat akses prioritas untuk layanan kesehatan, beasiswa pendidikan, serta bantuan darurat bagi masyarakat miskin dan rentan. Program ini terintegrasi dengan data digital kependudukan dan difokuskan pada basis data yang diperbarui secara berkala.
Kritik dan Saran:
Jaminan sosial akan efektif jika tepat sasaran. Maka diperlukan data yang akurat dan sistem verifikasi yang ketat untuk mencegah penyimpangan. Program ini juga akan lebih berdampak jika tidak sekadar bersifat karitatif, melainkan mendorong kemandirian, misalnya melalui pelatihan kewirausahaan, pembinaan UMKM, dan akses modal usaha mikro.
Kebijakan Strategis: Pilar Pembangunan Jangka Panjang
Untuk menopang seluruh visi dan misi, pasangan Firdaus-Hengky telah menyiapkan sejumlah kebijakan strategis. Beberapa poin penting di antaranya:
1. Iklim Usaha yang Kondusif – melalui kemudahan perizinan berbasis digital dan insentif bagi pelaku UMKM dan start-up lokal.
2. Penyelarasan Kompetensi SDM – agar pendidikan dan pelatihan kerja sesuai dengan kebutuhan industri lokal.
3. Penguatan Keharmonisan Sosial – termasuk pendekatan budaya lokal dalam penyelesaian konflik sosial.
4. Digitalisasi Data – semua sektor didorong untuk berbasis data terbuka dan integratif.
5. Konektivitas Infrastruktur – perbaikan transportasi, jalan, dan akses internet.
6. Ketahanan Pangan dan Optimalisasi Laut – untuk mendukung kebutuhan lokal dan menembus pasar ekspor.
7. Transformasi Birokrasi Berkelanjutan – pelayanan publik harus cepat, transparan, dan akuntabel.
Kritik dan Saran:
Kebijakan ini sudah cukup komprehensif, namun pelaksanaannya perlu dilakukan secara bertahap dan dengan pengawasan ketat. Pastikan setiap OPD memahami perannya dan tidak bekerja dalam sekat. Kolaborasi antar dinas, pelibatan masyarakat sipil, dan kemitraan dengan sektor swasta harus menjadi prinsip utama agar kebijakan ini tidak sekadar jadi dokumen formal.
Penutup: 100 Hari adalah Awal, Bukan Akhir
Refleksi atas 100 hari kerja Daeng Manye dan Hengky bukan sekadar evaluasi, tetapi juga undangan untuk berbenah dan berkolaborasi. Dalam waktu singkat ini, mereka sudah menunjukkan arah yang jelas: bahwa Takalar tidak ingin tertinggal dalam arus perubahan, dan bahwa ekonomi digital bukan sekadar wacana, tetapi menjadi jalan baru untuk kemandirian dan kesejahteraan rakyat.
Namun, jalan ke depan masih panjang. Ada tantangan teknis, resistensi birokrasi, ketimpangan digital, serta keterbatasan anggaran. Tapi bila kepemimpinan ini mampu menjaga semangat partisipatif, transparansi, dan inovasi, maka Takalar punya peluang besar menjadi contoh daerah yang mampu menggabungkan kearifan lokal dan teknologi modern dalam satu tarikan nafas pembangunan.
Daeng Manye dan Hengky telah memulai langkahnya. Kini, tinggal bagaimana mereka melibatkan seluruh elemen masyarakat, dari petani hingga pegawai, dari pelajar hingga pengusaha, untuk bersama-sama menjadikan ”Takalar Sejahtera dan Mandiri melalui Ekonomi Digital” sebagai kenyataan yang hidup dan terasa dalam kehidupan sehari-hari. (*)