Oleh: Chalista Aiska Putri (Penulis Mahasiswa Jurusan PKh Universitas Negeri Makassar)
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Orang yang tidak mengetahui dari mana ia berasal, akan sulit menentukan ke mana ia akan pergi.” Bung Hatta
Di zaman ini, menjadi bagian dari dunia seolah berarti melebur ke dalam kecepatan, popularitas, dan pengakuan digital. Kita hidup dalam dunia yang tidak pernah tidur, setiap detik ada yang diperbarui, ditampilkan, dikomentari. Tapi di tengah keriuhan itu, ada sesuatu yang perlahan lenyap: kesadaran akan siapa diri kita sebagai bangsa.

Krisis identitas ini bukan sekadar persoalan adat yang dilupakan atau bahasa daerah yang menghilang. Ini tentang bagaimana nilai-nilai lokal yang pernah menjadi kompas hidup bangsa kini ditukar dengan algoritma dan tren yang terus berubah. Apa artinya menjadi Indonesia, jika yang kita ikuti hanyalah apa yang sedang viral?
“Mappoji gau’na, nasaba’ jaga siri’na.”
(Berbuat benar demi menjaga harga diri.) – Pepatah Bugis Makassar
Kita terbiasa diajari bagaimana bersaing, bagaimana tampil, bagaimana menang. Tapi jarang kita diajak memahami apa arti menjadi bagian dari tanah ini, dari cerita panjang yang membentuk Indonesia. Anak-anak tumbuh mengenal dunia melalui layar, tapi jarang diajak mengenal kampung halamannya sendiri.
Padahal, kekuatan sebuah bangsa tidak hanya diukur dari kemajuan teknologinya, tapi juga dari seberapa kuat ia menjaga warisan pikir dan rasanya. Siapa kita saat ini adalah hasil dari siapa yang pernah ada sebelum kita, dan itu bukan sesuatu yang bisa kita tinggalkan begitu saja.
*Identitas yang Samar di Tengah Bisingnya Dunia*
Di tengah hiruk-pikuk dunia yang tak henti menggempur lewat layar, identitas menjadi kabur, bukan karena hilang, tapi karena terlalu banyak ditawarkan. Seperti kata Stuart Hall, identitas bukanlah sesuatu yang tetap, melainkan terus-menerus diproduksi.
Maka ketika K-Pop menjadi darah baru yang mengalir deras dalam nadi remaja Indonesia, yang kian lupa irama gamelan dan aksara ibu, kita pun patut bertanya: identitas macam apa yang sedang kita bangun? Dan milik siapa?
Di dunia global, identitas bukan lagi sesuatu yang diwarisi secara utuh, tapi dibentuk secara aktif, dipengaruhi oleh interaksi sosial, representasi media, dan kekuatan pasar.
Anak muda Indonesia kini lebih mudah menyebutkan anggota boyband K-pop ketimbang tokoh pejuang lokal dari daerahnya sendiri. Mereka hafal lirik lagu dari negeri asing, tapi tidak mengenal syair tradisi yang penuh makna.
Ini bukan sepenuhnya kesalahan mereka. Ini adalah cermin dari bagaimana budaya dan sejarah bangsa tidak hadir cukup kuat dalam kehidupan sehari-hari, bahkan di ruang-ruang yang seharusnya mendidik dan membentuk.
Kita tak sedang berkompetisi dengan budaya luar, kita justru belum benar-benar ikut dalam percakapan budaya itu karena kehilangan pijakan. Identitas Indonesia hari ini rentan, karena tidak cukup diberi ruang untuk tumbuh dalam keseharian anak mudanya.
Kita membiarkan identitas budaya menjadi seremonial, bukan spiritual. Kita mengagumi nilai-nilai luar, padahal kita memiliki filosofi hidup sendiri yang tak kalah dalam makna dan kebijaksanaan. Kita bisa mengenal dunia, tapi tidak bisa mengenali diri jika tak pernah bercermin pada tanah sendiri.
*Kemajuan yang Tak Menumbuhkan Akar*
“Modernisasi tanpa kebudayaan adalah kekosongan. Dan kekosongan adalah awal dari krisis makna.” – Franz Magnis-Suseno
Kemajuan tidak salah. Tetapi ketika kemajuan datang tanpa refleksi, maka ia hanya akan mempercepat kita ke tempat yang belum tentu benar.
Banyak kota tumbuh megah, gedung menjulang tinggi, koneksi internet makin cepat, tapi apakah manusia di dalamnya juga makin terkoneksi dengan jati dirinya?
Apakah anak-anak yang kita besarkan benar-benar memahami siapa dirinya, atau hanya diajari bagaimana menjadi pekerja dalam sistem global?
Kita begitu sibuk membangun infrastruktur, tapi lupa membangun struktur nilai dan makna. Ini bukan tentang menolak perubahan, tapi tentang memastikan akar kita ikut tumbuh bersama ranting-ranting yang menjulang tinggi.
“Siri’ji nanimmantang attalasa’ ri linoa, punna tenamo siri’nu matemako kaniakkangngami angga’na olo-oloka”.
(Hanya karena rasa malu kita bisa hidup di dunia ini. Kalau rasa malu itu sudah hilang maka lebih baik mati karena engkau tak berarti lagi sama sekali, bahkan binatang lebih berharga dibanding dirimu).– Pepatah Makassar
Dalam budaya Bugis-Makassar, ada yang disebut siri’, harga diri yang bukan sekadar gengsi, tapi prinsip hidup. Siri’ membuat seseorang tahu batas, tahu malu, tahu benar.
Tapi nilai-nilai seperti ini makin sulit terdengar di ruang publik kita. Generasi muda kini lebih sering melihat konten yang merayakan gaya hidup konsumtif daripada konten yang merawat karakter. Jika tidak ada yang mengingatkan mereka pada nilai-nilai dasar itu, siapa yang akan menjaga makna menjadi manusia Indonesia di masa depan?
*Pendidikan yang Terlambat, Media yang Terlalu Cepat*
“Pendidikan bukan mengisi ember, melainkan menyalakan api.” – William Butler Yeats
Sekolah seharusnya menjadi tempat kita mengenal akar, bukan sekadar menyerap informasi. Tapi di banyak ruang kelas, nilai-nilai budaya dan moral lokal nyaris tak terlihat.
Sejarah disampaikan seperti lembar waktu yang kaku, bukan sebagai kisah yang hidup. Filsafat lokal dianggap tak penting. Padahal di sanalah jawaban dari pertanyaan paling besar kita: siapa kita?
Tanpa pendidikan yang membentuk manusia seutuhnya, kita hanya mencetak generasi yang pintar berpikir tapi bingung merasa, yang bisa menjawab soal ujian tapi tidak tahu jalan pulang ke jiwanya sendiri.
Sementara itu, media sosial terus membentuk generasi ini. Ia cepat, masif, dan tanpa ampun. Ia menciptakan nilai, standar, dan identitas baru yang tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai bangsa.
Ketika pendidikan lambat bergerak, maka anak-anak akan belajar lebih banyak dari trending topic daripada dari gurunya. Bukan hanya apa yang mereka tonton, tapi juga bagaimana mereka melihat hidup ditentukan oleh siapa yang paling sering muncul di layar.
*Otentisitas yang Tak Lagi Dicari*
“Jadilah dirimu sendiri, karena semua orang lain sudah ada yang punya.” – Oscar Wilde
Di dunia yang terus membentuk kita menjadi sama, menjadi otentik adalah bentuk keberanian yang paling sunyi. Tapi bagaimana mungkin seseorang menjadi otentik jika ia bahkan tidak tahu dari mana ia datang?
Budaya kita sering diposisikan sebagai dekorasi: tampil saat hari besar, dikenakan saat lomba, dibanggakan di ajang internasional. Tapi apa gunanya dibanggakan jika tidak benar-benar dipahami?
Menjadi Indonesia berarti bukan sekadar mengenakan batik, tapi juga menghidupi nilai di balik motifnya. Bukan sekadar menyanyikan lagu daerah, tapi meresapi cerita di dalamnya.
Kita terlalu sering meniru dan mengadopsi tanpa menyaring. Bukan salah menjadi bagian dari dunia, tapi kita harus tahu cara hadir di dunia dengan membawa wajah kita sendiri. Indonesia bukan hanya bisa modern, tapi bisa menjadi versi terbaik dari dirinya, jika ia berani berjalan ke depan sambil membawa cermin masa lalunya.
*Menulis Ulang Makna Menjadi Indonesia*
“Kalau orang tidak tahu sejarah bangsanya sendiri, gampang menjadi budak bangsa lain.” – Pramoedya Ananta Toer
Indonesia bukan hanya tentang angka pertumbuhan ekonomi, bukan hanya tentang siapa yang menjabat atau proyek apa yang sedang dibangun. Indonesia adalah tentang jiwa manusia yang diikat oleh sejarah, nilai, bahasa, dan cerita.
Jika kita tidak menulis ulang narasi kita sebagai bangsa, maka kita akan hidup dalam cerita yang ditulis oleh orang lain. Kita butuh generasi yang tahu dari mana ia berasal, dan berani menentukan ke mana ia harus pergi, bukan yang hanya menunggu ditunjukkan jalan oleh pasar dan algoritma.
Kita masih bisa memilih. Memilih untuk tidak terjebak dalam keramaian yang kosong. Memilih untuk membangun identitas yang tidak rapuh. Memilih untuk menjadi bangsa yang bukan hanya besar karena jumlah penduduknya, tapi karena dalamnya kesadaran akan siapa dirinya.
“Maka, dalam dunia yang semakin mendikte siapa kita harus menjadi,
masihkah kita punya keberanian untuk memilih menjadi diri sendiri sebagai Indonesia?”. (*)