Cerpen oleh Taufik AAS P.

MAU masuk akal atau tidak masuk akal, dalam pikiran manusia kalau Yang Maha Kuasa punya mau, apa saja bisa. Itulah lelaki Baco Mallosu-Losu, seorang pemahat yang tinggal di pinggiran kampung. Dari namanya, semua orang sekampungnya tahu, kalau itu artinya “lelaki telanjang.”

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menurut ibu yang melahirkan Baco Malosu-Losu, dari kecil anaknya tidak bisa kena benang apalagi berpakaian. Kalau dipaksa, sebagaimana anak-anak yang lainnya, badannya panas, terus sakit dan tak bakal sembuh sebelum pakaian dilucuti dari badannya.

Hingga dewasa pun Baco Mallosu-Losu tetap telanjang dan bisa hidup normal bersama masyarakat sekampung lainnya. Meskipun ke mana-mana dengan kondisi telanjang, masyarakat memakluminya. Wanita-wanita, apalagi gadis-gadis, tidak juga histeris menjauh jika ketemu si telanjang ini.

Karena meskipun telanjang, Baco tetaplah sopan dalam kelakuan, juga salah salah anggota tubuhnya sangatlah santun walau berhadapan dengan wanita dengan pakaian seksi dan seminim apapun.

Selain dikenal sebagai pemahat kayu tulen, Baco juga adalah pria yang sanggup menjaga kayu sepotongnya dengan baik. Ia luar biasa memuliakan kayu-kayu sejengkal itu. Karena menurutnya, kehormatan seorang pria terletak pada kayu sepotong itu. Ia banyak menonton tayangan televisi, seseorang yang begitu terhormat bisa jatuh hina karena tidak bisa memelihara kayu sepotongnya. Karena kayu-kayu itu bisa saja sembarang tunjuk, sembarang tonjok dan sembarang masuk.
***

Meskipun aneh karena selalu telanjang, ada juga wanita-wanita yang menyukai Baco. Ia memang cukup gagah, posturnya meyakinkan sebagai lelaki. Sayang kaum hawa di kampungnya menduga lain pada pria sejati ini.

“Baco itu, ganteng ya.”

“Betul, badannya berotot.”

“Kulitnya juga bagus, mulus.”

“Matanya indah menawan.”

“Dadanya bidang untuk tempat bersandar.”

Begitu para wanita muda yang lagi mandi dan mencuci di sungai pergunjingkan Baco, si telanjang itu. Lalu salah satu yang paling centil dari mereka nyeletuk.

“Sayangnya Baco, kurang jantan.”

“Masa.”

“Ia. Kemarin dari sungai sambil menjinjing cucian aku lewat di depan rumahnya. Ia melihatku baik-baik. Handuk yang aku pakai kecil dan hanya mampu menutup separuh tubuh, di bagian atas kelihatan setengah dada, kalau di bawah hampir seluruh paha nampak. Ia hanya melihatku dengan senyum seperti biasanya, naluri laki-lakinya tidak bereaksi.”

“Wah, kalau tidak jantan, betina ya.”

***

Desus-desus ketidakjantanan Baco si telanjang beredar diam-diam di kalangan gadis-gadis, hingga ke ibu-ibu muda. Merekapun penasaran ingin mengetahui kebenaran isu itu. Jangan-jangan hoax belaka, karena sakit hati tidak mempan menggoda Baco.

Rasa penasaran para wanita muda terhadap kejantanan Baco, sungguh luar biasa. Mereka tidak memilih tempat dan waktu untuk menggoda pria muda pemahat kayu ini. Juga atas anugerah Yang Maha Kuasa, semakin hari semakin tampanlah Baco di mata wanita-wanita itu.

Suatu ketika, pada sebuah pesta perkawinan Baco hadir dan di keramaian ini, wanita-wanita muda pun masih lancarkan godaan terhadap dirinya. Saat ia yang duduk bersila bersama tamu-tamu lain, disuguhi teh oleh si centil yang pernah mempergunjingkannya. Saking kencangnya godaan si centil, ia menuang teh ke gelas Baco, susunya juga seolah ikut tumpah ke mata Baco.

“Astagfirullah.”

Bukan ucapan terima kasih yang terlontar dari mulut Baco. Tetapi mintan ampun kepada Yang Maha Kuasa. Ia memang telah ampun tinggal di kampungnya.

“Ibu, biarkanlah aku tinggal di hutan dan terus memahat kayu.”

Tinggallah Baco si telanjang di kaki gunung pada sebuah gubuk dengan segala perlengkapan memahatnya. Saban hari ia masuk hutan untuk memilih pohon yang baik untuk dijadikan patung. Tanpa sengaja, sebatang pohon itu membuatnya tertarik, bukan saja karena naluri memahatnya yang menderu-deru, tetapi rasa lelakinya juga ikut terdorong. Baco memeluk pohon itu dengan rasa yang dalam.

***

Selama dua purnama Baco memahat kayunya menjadi seorng wanita cantik. Pahatannya itu sungguh detail, semua anggota tubuh wanita lengkap dalam patung yang dipahatnya itu. Baco membuat mata wanita itu indah, teduh dan menunduk jika bertatapan muka dengan dirinya.

Dibuatnya bulatan kelereng pada buah dada wanita itu, tempat bayinya mengisap air susu murni. Pahanya dibuat mulus dengan pinggul yang lapang. Terakhir, dibuatnya alat reproduksi bagi wanita pahatannya itu.
Pahatan wanita itu kemudian diberinya pakaian lengkap. Seluruh auratnya ditutup dengan pakaian yang layak, hingga yang nampak hanya wajah, telapan kaki dan telapak tangan. Namun wanita pahatannya itu diberi pula caping pertanda bahwa ia adalah wanita desa, sebagaimana dirinya yang selalu nge-desa.

***

Setelah pahatan wanita dari kayu yang membuat naluri lelakinya membara, Baco si telanjang lalu menemui ibunya di kampung. Pada wanita yang paling dihormatinya itu, ia sampaikan bahwa, dirinya akan menikah dengan seorang wanita yang dicintainya. Wanita tua itu merestui keinginak anak yang sematama wayangnya tersebut.

Amping Lau, 16 Desember 2023

—-

Penulis adalah cerpenis dan jurnalis, alumni jurusan Linguistik Fakultas Sastra Unhas. Semasa kuliah, cerpen-cerpennya sering dimuat di majalah Anita Cemerlang, Tabloid Identitas Unhas, dan media lainnya. Dalam era media digital atau online saat ini, cerpennya sering dimuat di kompasiana.