Oleh Iqbal Djawad @iqbaldjawad#

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

 

KABARIKA.ID,– Mungkinkah pembangunan ekonomi dilakukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau dalam konteks negara kepulauan?

Saya ingin memulai kisah sukses di Jepang sebagai inspirasi untuk memajukan pembangunan ekonomi Indonesia.

Selama studi master dan doktoral di Universitas
Hiroshima (1990-1997) dan bekerja sebagai atase pendidikan dan kebudayaan KBRI Tokyo (2012-1015), saya memiliki optimisme bahwa kekayaan imajinasi negara kepulauan yang kuat di Jepang menjadi inspirasi untuk memajukan ekonomi kita.

Pentingnya kekayaan imajinasi dalam pembangunan ekonomi di negara kepulauan terinspirasi atas kisah sukses Remodelling the Japanese Archipelago (Nippon Retto Kaizo-ron, 1972) yang dikemukakan oleh Kakuei Tanaka, Menteri Perdagangan dan Industri Internasional.

Karya ini menyajikan solusi terhadap banyak permasalahan yang terkait dengan kemacetan dan kepadatan yang berlebihan di kawasan industri utama Jepang.

Masalah-masalah kompleks di pesisir dan pulau-pulau sengaja dicarikan solusinya dalam rangka melestarikan ruang hijau, menghindari kepadatan penduduk, dan mengakomodasi industri padat karya, sehingga tidak terjadi polusi seperti mesin listrik dan berbagai jenis rekayasa ringan.

Salah satu proyek Tanaka Plan ini adalah membuka wilayah-wilayah Jepang yang sebelumnya terabaikan dalam banyak hal.

Pada saat itu Tanaka sadar akan pengeluaran besar yang dibutuhkan untuk mencapai redistribusi industri yang direncanakan akan terbukti berada di luar kemampuan bahkan ekonomi Jepang yang sangat kuat.

Namun terlepas dari apakah program Tanaka terwujud atau tidak, rencana untuk merombak kepulauan Jepang setidaknya menandai titik balik penting dalam pembangunan Jepang pasca-perang, dan menandakan awal yang serius untuk mengatasi banyaknya masalah yang berlebihan di wilayah pesisir dan pulau-pulau Jepang.

Tanaka meruntuhkan kekhawatiran umum bahwa pembangunan ekonomi tidak bisa dilakukan di daerah pesisir dan pulau-pulau sebagai bagian dan negara kepulauan. Kekhawatiran ini ternyata tidak terbukti karena pemahaman akan sebuah imajinasi negara kepulauan yang sangat
kuat yang dipegang oleh Tanaka.

Imajinasi Tanaka yang kaya ini menjadi sumber inspirasi saya untuk berpikir tentang pembangunan ekonomi biru Indonesia, terutama pada pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kita.

Pertanyaan pertama yang harus dijawab, dapatkah kita mengentaskan kemiskinan imajinasi kita dalam konteks negara kepulauan.

Apa kebijakan terbaik yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia ditengah persaingan global saat ini untuk bisa memanfaatkan dan mengembangan potensi kita sebagai negara kepulauan tanpa membuat penyimpangan atau
menghilangkan identitasnya.

Pertama, negara harus bertransformasi mengembangkan infrastruktur dan kebijakan untuk memanfaatkan potensi lautnya secara optimal karena lautan yang luas dan kaya akan sumber daya alam, termasuk perikanan, energi terbarukan, dan pariwisata.

Ketergantungan pada sektor-sektor darat seperti pertanian dan pertambangan tanpa memanfaatkan ekonomi biru (blue economy) menunjukkan kurangnya visi jangka panjang untuk mengembangkan potensi maritim.

Kedua, sebagai negara kepulauan, pembangunan ekonomi, sosial, dan infrastruktur sering kali terfokus di pusat-pusat urban di daratan utama. Untuk mengembangkan potensi kepulauan, dibutuhkan kebijakan yang inklusif dan terintegrasi, yang mencakup semua pulau dan kawasan
maritim.

Pulau-pulau kecil sering kali terpinggirkan dan tidak mendapatkan perhatian yang memadai, meskipun memiliki potensi besar untuk dikembangkan.

Hal ini menunjukkan
keterbatasan dalam memikirkan solusi yang holistik dan komprehensif untuk mengembangkan potensi kepulauan.

Ketiga, kurangnya inovasi dalam teknologi kelautan dan perikanan. Teknologi kelautan seperti teknik penangkapan ikan yang berkelanjutan, energi gelombang dan pasang surut, serta teknologi penelitian laut dalam memiliki potensi besar untuk mentransformasi perekonomian
negara-negara kepulauan.

Namun, jika suatu negara tidak menginvestasikan sumber dayanya dalam penelitian dan pengembangan di bidang ini, hal ini mencerminkan ketidakmampuanmembayangkan masa depan yang lebih inovatif dan berkelanjutan di sektor maritim.

Kemiskinan imajinasi kita yang lain adalah kurangnya kesadaran budaya maritim. Sejarah maritim dan budaya bahari sering kali terpinggirkan dalam narasi nasional.

Padahal, identitas sebagai bangsa maritim bisa menjadi sumber inspirasi dan kebanggaan nasional yang mendalam. Jika masyarakat dan pemimpin politik gagal menghidupkan kembali atau merawat warisan budaya maritim kita, bisa dimaknai sebagai bentuk kemiskinan imajinasi.

Indonesia yang mempunyai puluhan ribu pulau-pulau yang kaya akan budaya bahari namun tidak
memanfaatkannya dalam pengembangan sektor pariwisata atau pelestarian budaya bisa dimaknai bahwa ada potensi yang tidak tergali.

Pertanyaan kedua yang juga harus dijawab adalah apakah kabinet pemerintahan baru Indonesia ini bisa dijadikan momentum untuk melihat dengan jeli restorasi kita sebagai negara kepulauan?

Restorasi sebagai negara kepulauan harus berangkat dari suatu asumsi bahwa modal utama suatu negara kepulauan adalah sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, sehingga harus memanfaatkan modal yang ada untuk kemaslahatan seluruh rakyat Indonesia.

Oleh karena itu negara harus hadir. Kemiskinan imajinasi negara kepulauan di Indonesia bukan hanya tentang kurangnya sumber daya, tetapi lebih tentang bagaimana pemimpin dan masyarakat gagal membayangkan cara-cara baru dan inovatif untuk mengembangkan potensi mereka.

Dalam konteks modern, negara kepulauan yang ingin maju harus mampu mengembangkan visi yang kreatif dan berkelanjutan, yang melibatkan seluruh masyarakat dan
menghargai kekayaan alam serta budaya yang kita miliki.

Suka atau tidak suka kabinet pemerintahan baru sepertinya akan memaksa kita untuk menghadapi tantangan lama, seperti meningkatkan produksi khususnya di bidang perikanan dan kelautan serta pariwisata sebagai sumber devisa utama, explorasi laut yang berlebihan dan persepsi bahwa pembangunan kepulauan membutuhkan biaya yang besar.

Dalam jangka panjang, negara sejatinya mengembangkan strategi adaptasi yang inovatif, termasuk dengan memanfaatkan revolusi biru atau menciptakan solusi berbasis kepulauan (islands-based solutions), sehingga bisa menunjukkan kemampuan untuk membayangkan masa depan yang berkelanjutan.

Kalau kita bisa mengentaskan kemiskinan imajinasi dalam konteks negara kepulauan dalam beberapa program strategis, pemerintah akan mampu menghasilkan pembaruan dan
perkembangan yang terjadi bukan hanya pada sektor kelautan dan perikanan tetapi juga pada sektor pendidikan, industri, pertanian dan ekonomi sebagai pendorong utama terwujudnya Indonesia yang lebih baik.

Penulis, Prof Muhammad Iqbal Djawad., Ph.D, Ketua Bidang Hubungan Internasional Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Hasanuddin.