Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator Perkumpulan Penulis SATUPENA Sulawesi Selatan)

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Saya baru saja menyeduh kopi, ketika pesan pribadi dari Goenawan Monoharto masuk. Dia mengabarkan bahwa buku kiriman dari Bapak Aspar Paturusi sudah tiba.

Saya sampaikan, sebentar akan ke kantornya untuk menjemput buku itu. Buku yang dikirim oleh Lasmy Aspar (istri Aspar Paturusi) dengan alamat Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, itu memang ditujukan untuk saya, tapi menggunakan alamat Jalan Borong Raya, yang merupakan kantor Penerbit de La Macca.

Om Goen, biasa saya menyapanya begitu, merupakan teman diskusi banyak hal, mulai seni, fotografi, sastra, perbukuan, teater, literasi, dan lain sebagainya. Dia merupakan Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Sulawesi Selatan.

Dialah yang mengabarkan bahwa Aspar Paturusi punya buku kumpulan puisi baru, dan merekomendasikan saya membaca buku tersebut. Bahkan dia sempat meminjamkan buku yang dimaksud untuk saya.

Buku berjudul “Dari Yaya Papa Nek Aya Kakek Puang, Jejak Cintaku yang Tertulis dan Terekam”, terbit tahun 2025. Sepertinya, buku yang diterbitkan untuk kalangan terbatas itu, sebagai penanda ulang tahun Aspar Paturisi yang ke-82 tahun.

Tokoh yang jadi pokok tulisan saya ini, lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan, pada 10 April 1943. Buku ini menjadi istimewa karena saya dikasi tepat di Hari Buku Sedunia, 23 April 2025.

Setelah pulang dari Om Goen, saya kemudian berfoto dengan buku itu di depan rumah, dan menyertakan buku Aspar Paturusi lainnya untuk keperluan foto itu.

Sebelumnya, saya pernah dikirimi tiga buku langsung oleh Aspar Paturusi, masing-masing “Badik: Puisi Untukmu” (Garis Warna Indonesia, Jakarta, 2011), “Secangkir Harapan” (Kosa Kata Kita, Jakarta, 2012), dan “Perahu Badik: Membaca Laut” (Kosa Kata Kita, Jakarta, 2015).

Buku “Perahu Badik: Membaca Laut”, yang merupakan 100 puisi pilihan yang diterbitkan dalam dwi bahasa (Indonesia-Inggris), telah mencatatkan pencapaian penting seorang Aspar Paturusi.

Buku itu ditetapkan sebagai salah satu dari 5 Buku Pilihan Sayembara Buku Puisi HPI 2015 oleh Yayasan Hari Puisi Indonesia.

Buku yang sama juga mendapat Penghargaan Sastra 2015 oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Lelaki yang punya nama lengkap Andi Sofyan Paturusi ini, bukan cuma penyair, beliau juga novelis dan penulis naskah drama. Beliau aktor dan dramawan. Beliau menulis naskah drama sejak tahun 1957, saat usianya baru 14 tahun!

Kepenyairannya ditahbiskan lewat puisi berjudul “Mereka Tercinta” dan “O, Anak, ke Mana Kau” (Mimbar Indonesia, 1960). Aspar Paturusi segenerasi dengan Rahman Arge, Sinansari ecip, Husni Djamaluddin, dan Arsal Al-Habsyi.

Ibarat perahu Pinisi, beliau telah menaklukkan badai samudra dan membuat prasasti dengan tinta emas bertuliskan namanya.

Sebagai pengingat, saya menukilkan beberapa di antaranya, yakni Pemenang Sayembara Mengarang Roman, DKJ, 1974, lewat “Arus”, Pemenang Sayembara Naskah Sandiwara, DKJ, 1980, lewat “Duta Perdamaian”, Pemenang Sayembara Mengarang Naskah Sandiwara, DKJ, 1981, lewat “Samindara”, dan Aktor Terbaik Festival Sinetron Indonesia (1992).

Aspar Paturusi, yang pernah mengajar di salah satu Sekolah Dasar di Makassar (1961-1964) dan pernah pula jadi wartawan ini, menerima penghargaan dari kampus maupun pemerintah daerah.

Beliau diganjar sebagai Alumni Berprestasi Nasional pada HUT ke-40 UNHAS. Beliau merupakan meraih Bachelor of Arts (BA) dari Fakultas Sastra dan Filsafat, Jurusan Paedagogik, saat kampus UNHAS masih di Baraya.

Beliau dinobatkan sebagai Warga Kota Makassar Berprestasi, tahun 1978. Beliau juga mendapat penghargaan dari Gubernur Sulawesi Selatan, tahun 2011, atas kontribusinya mengaktualisasikan nilai-nilai budaya melalui perfilman.

Film dan sinetron yang diperankannya beberapa bertema budaya Sulawesi Selatan, seperti “Latando di Toraja” (1970), “Sanrego” (1972), dan “Badik Tititpan Ayah” (2010).

Maka tepat bila penyair Taufiq Ismail memberi komentar, Aspar sudah menggenggam semuanya: puisi, novel, film, sinetron teater. Kepadanya tidak ditanyakan lagi lakekomaE.

Sementara Mochtar Pabottingi, penulis dan peneliti utama LIPI, menyebut Aspar adalah tombak yang pantang rebah, adalah hati yang mengasah gundah, adalah dahi yang kian merapat ke tanah.

Kritikus sastra, Maman S Mahayana, mengemukakan bahwa Aspar sudah sampai pada maqam-nya sebagai penyair. Menurutnya, Aspar telah sampai pada apa yang dikatakan Chairil Anwar sebagai: ‘menggali kata hingga ke putih tulang’ (“Perahu Badik”, halaman 260).

Tulisan-tulisan pendiri Dewan Kesenian Makassar (DKM) itu memang relatif mudah dimaknai. Puisinya sederhana, dengan gaya repetisi bila hendak menekankan suatu pesan.

Beliau banyak berkisah tentang kampung halamannya: Bira, Bulukumba, Makassar, Sulawesi Selatan. Lingkungan sosio-kulturalnya digambarkan secara apik, ekspresif, dan estetik dalam puisi, novel, dan naskah dramanya.

Aspar Paturusi memahami betul keluruhan nilai-nilai, kearifan, dan filosofi budaya Bugis-Makassar. Laut, arus, ombak, pulau, layar, kemudi, perahu pinisi, pantai Losari, badik, dan diksi-diksi yang dapat ditarik ke akar tradisinya.

Dalam buku puisi “Perahu Badik: Membaca Laut”, Sapardi Djoko Damono memberi kata pengantar dengan menulis bahwa Aspar Paturusi meyakinkan kita bahwa dirinya laut, tak lain tak bukan. Asal-muasal, nasib, cinta, petualangan, kematian—semuanya memanfaatkan laut sebagai citraan dan acuan (halaman 14).

Laut bukan saja simbol, tapi pengamalan penulis yang ikut membentuk karakter dirinya dan kebudayaan leluhurnya.

Itu pula yang disampaikan Maman S. Mahayana, dalam buku “Badik” (Aspar Paturusi, 2011). Bahwa anak lahir dari rahim ibu budaya dan ibu budaya itu yang akan mengantar dan melindungi si anak menuju kehidupan mahaluas. Ulasan ini sebagai catatan tafsir atas puisi “Tidurlah Tidur” yang biasa dibawakan secara duet oleh Pak Aspar dan Bu Lasmy, istrinya.

Puisi yang menggambarkan kasih sayang orang tua kepada anaknya dengan segenap doa dan petuahnya ini, merujuk pada dongeng pengantar tidur, yabe lale, atau lagu ninabobo ala Bugis.

Puisi, tulis Maman S. Mahayana untuk pengantar buku “Secangkir Harapan” (Aspar Paturusi, 2012), adalah dunia kecil yang tidak jarang menyimpan peristiwa besar. Seolah-olah penulisnya bercerita tentang hal kecil yang remeh-temeh.

Namun, lantaran cantelannya berkaitan dengan persoalan kemanusiaan, maka ia menjadi peristiwa universal dalam pengertian sebagai problem manusia sejagat. Maka puisi bagai wadah kecil yang kenyal dan elastis, yang di dalamnya bisa memuat apa saja.

Semua catatan yang saya himpun dari buku-buku yang lebih dahulu diterbitkan itu, seolah “tertulis dan terekam” kembali dalam buku teranyarnya “Dari Yaya Papa Nek Aya Kakek Puang, Jejak Cintaku yang Tertulis dan Terekam”.

Buku yang dipenuhi foto-foto keluarga ini tidak sekadar album kenangan, tapi juga merekam peristiwa dan momen-momen memorable Asdar Paturusi di atas panggung, sebagai penyair dan aktor, saat menerima Piala Vidia, dan dalam interaksi kesehariannya bersama anak-anak, cucu-cucu, dan cicit-cicitnya.

Buku yang berisi lebih 60-an puisi ini, dimulai dengan puisi “Rindu yang Kukirim” dan beberapa puisi tentang dan kepada ibundanya.

Foto Aspar dan ibunya, dengan caption “Si bungsu nakal bersama ibu. Foto sekitar 44 tahun silam. Ibu berpulang  di usia hampir 100 tahun”, mempertegas kerinduannya.

Sejumlah puisi lamanya, yang ikonik dimuat kembali dalam buku ini, di antaranya “LakekomaE”, “Badik”, dan “Makassar”. Konon, tanda-tanda orang sudah tua itu kalau suka bernostalgia hehehe.

Dalam puisi berjudul “Duh Lutut”, ditulis di Cisarua, 16 April 2016, pengakuan akan usia senja itu tersiratkan. Saya membaca bagian akhir puisi ini sembari tersenyum karena terasa komikalnya:

Kota demi kota kau jelajahi
kau seret aku menikmati indahnya negeri
bahkan negeri-negeri yang jauh
kau bagi senyum bahkan cinta
pada perempuan yang rupawan
betapa manis dan indahnya masa jejaka
tetapi kudengar kini keluhmu:
“Duh lutut!”

Refleksi akan usia dan eksistensi diri tergambarkan pula dalam puisi-puisinya. Puisi berjudul “Lingkaran Senja Usia”, “Senja Usia”, “Lelaki Tua”, “Kakek Oh Kakek”, “Ada ke Tiada”, “Tak Punya Apa-Apa”, “Gerbang Kematian”, dan puisi-puisi dengan aku lirik yang menyiratkan tabungan umur yang sudah berbilang, sarat dengan perenungan, kebijaksanaan, dan pesan-pesan religius.

Kesemuanya berfokus pada pesan agar kita memanfaatkan waktu dengan karya dan kebaikan. Demi masa, jarum jam tak bisa diputar ulang!

Nasihat-nasihat itu secara teks memang ditujukan kepada anak-anak, cucu-cucu, dan cicit-cicitnya, tapi secara kontekstual, gema dan resonansinya sampai pada kesadaran kita.

badik iman berpamor takwa/ cabut dari hati segera/ bila ada duka musibah (puisi “Badik”, Jakarta, 13 Juli 2010)

biarlah sejarah bercerita untukmu (puisi “Biarlah Sejarah Cerita”, Jakarta, 7 Februari 2011)

seniman/ hanja kiamat sanggup membunuhnja (puisi “Mereka Tertjinta”, Makassar, 13 Djuni 1960)

Dan di abad digital ini, kita bisa menapaki jejak karya Aspar Paturusi lewat berbagai platform digital. Kita bahkan bisa mendengar langsung apa yang disampaikannya dalam buku ini lewat channel YouTube: Aspar Paturusi, dengan men-scan barcode yang terdapat dalam halaman-halaman bukunya.

Beliau termasuk generasi old school yang cepat bertransformasi. Beliau orang yang open minded, bisa menerima hal-hal baru. Beliau tidak menabukan sastra digital, dengan memposting puisi-puisinya di akun Facebook-nya.

Beliau juga tidak menolak genre puisi esai, yang digagas Denny JA. Lewat puisi esai-lah, awal mula kami berkomunikasi. (*)

Makassar, 28 April 2025