KABARIKA.ID, MAKASSAR–Bencana alam banjir dan longsor terjadi di sejumlah kabupaten di Sulawesi Selatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebelumnya, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sudah mengeluarkan peringatan dini cuaca waspada dan berhati-hati terhadap potensi cuaca ekstrem.
“Kita (Pemda) baru ramai membahas bencana yang sudah terjadi, dengan melakukan tanggap darurat. Padahal Investasi dengan mitigasi, agar ada kesiap-siagaan masyaraat saat bencana itu yang utama,” kata Ilham Alimuddin, Kepala Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin (UNHAS), Selasa (7/5/2024).
Hujan dengan intesitas tinggi pun disebut sebagai penyebab banjir dan longsor terjadi. Rumah warga banyak yang rusak parah akibat bencana tersebut, bahkan hingga mengakibatkan korban jiwa.
Perekonomian warga pun terhenti. Dan bencana terparah terjadi di Kabupaten Luwu.
Terkait hal tersebut, luasnya areal terdampak bencana dan jatuhnya korban jiwa, lantaran mitigasi yang belum maksimal.
Menurut Ilham, perlu ada kampanye terkait mitigasi, dan itu akan dilakukan oleh UNHAS, yang akan membantu pemerintah daerah dan kota untuk menyusun dokumen kajian Risiko Bencana (KRB).
“Sementara KRB itu sebenarnya amanah undang-undang, tapi masih banyak daerah tidak mampu membuat dokumen KRB,” lanjut Ilham.
Padahal, jika ada dokumen KRB, maka daerah punya upaya pencegahan dan edukasi. Pemda bisa punya sistem pencegahan dini, sehingga tidak memakan banyak kerusakan atau pun meminimalisir jatuhnya korban.
Tidak hanya itu, Ilham juga mengungkapkan, jika perubahan alih fungsi lahan juga berpengaruh terhadap terjadinya bencana alam banjir atau longsor. Bukan hanya karena intensitas hujan yang tinggi.
“Bisa kita lihat banjir semakin meluas, karena 10 tahun lalu tutupan lahan masih banyak yang hijau, vegetasi masih lebat,” ungkapnya.
Hal itu bisa terus terjadi, lantaran urbanisasi terus terjadi, pemukiman makin meningkat, yang tentunya butuh lahan, sehingga terjadi alih fungsi lahan.
“Jadi tidak hanya alih fungsi lahan untuk tambang, tapi juga pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan. Seperti di Enrekang berubah jadi lahan perkebunan bawang, dan di Luwu pembukaan lahan merica,” kata Ilham mencontohkan.
Meski demikian, Studi Kebencanaan UNHAS masih menaruh curiga, sehingga saat ini mereka sudah ada di lokasi bencana, khususnya di Kabupaten Luwu, untuk melihat apakah 5-10 tahun lalu aktivitas alih lahan tersebut memang memberi dampak yang sangat sigifikan dengan kedian bencana besar yang dialami saat ini.
“Contoh saja sungai yang dahulu lebar menyempit dan terjadi pendangkalan akibat sedimentasi dari atas (hulu), pungkasnya. (*)