KABARIKA.ID—Tidak banyak orang mengetahui bahwa kopi berperan dalam kejatuhan kekaisaran Ottoman. Dengan segelas kopi, orang-orang mulai membincangkan gagasan-gagasan revolusioner dan nasionalis yang menyebabkan runtuhnya kekaisaran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kopi telah menjadi minuman yang familiar dan dikenal dengan nama yang berbeda-beda di berbagai negara. Namun, pada pertengahan abad ke-16, kopi hanya dikenal sebagai kahve.
Istilah Kahve adalah kata dalam bahasa Turki yang artinya “Kopi”. Pada saat itu, wilayah-wilayah ini diperintah oleh Kekaisaran Ottoman yang menguasai penggemar kahve dari Eropa tenggara hingga Persia.
Dilansir dari The Economist, kopi pertama kali diperkenalkan ke Turki pada masa pemerintahan Sultan Suleiman.
Ketika orang yang dikirimnya untuk memerintah Yaman menemukan minuman yang dikenal sebagai qahwa, dia membawanya kembali ke istana Ottoman di Konstantinopel, dan menjadi sangat populer.
Kahveci Usta, adalah sebutan bagi orang yang piawai dalam membuat kopi (barista) di Kesultanan Utsmaniyah.
Mereka memiliki puluhan pekerja untuk membantu dalam memproses biji kopi menjadi bubuk halus.
Hasil olahan tersebut kemudian direbus pada ceret tembaga, yang disebut dengan istilah cezves. Kopi tersebut memiliki rasa yang pahit dengan warna hitam dan buih tipis di permukaannya.
Konon untuk mengurangi rasa pahit, istri Suleiman, Hürrem Sultan, menikmati sajian tersebut dengan segelas air dan manisan Turkish Delight.
Hingga saat ini, penyajian serupa masih dilakukan di Turki.
Sebagian orang meyakini bahwa Al-Qur’an tidak mengizinkan umat muslim untuk mengkonsumsi minuman ini. Meskipun Kitab Suci Islam tidak secara langsung menyebutkan kopi, seorang ulama garis keras kala itu menyatakan bahwa mengonsumsi segala sesuatu yang dibakar dilarang.
Hal tersebut tidak mengurangi daya tariknya. Kedai kopi atau Kahvehane, pertama kali didirikan di Istanbul pada 1555 oleh dua pedagang Suriah. Secara bertahap, kopi meresap sampai ke tempat yang jauh dari kekaisaran.
Dikutip dari dailysabah, bahwa pada akhir abad ke-16 terdapat sekitar 600 kedai kopi di ibu kota kekaisaran Istanbul dan hampir 2500 pada akhir abad ke-19.
Di kedai kopi, mereka diperkenalkan dengan ide-ide pemberontakan, penentuan nasib sendiri, dan falibilitas yang kuat. Disinilah mereka mulai mengeja perlawanan untuk negara Ottoman.
Tidak lama kemudian, pihak berwenang mulai menganggap kahvehane atau kedai kopi sebagai ancaman.
Beberapa sultan mengirim intel di kedai kopi untuk memata-matai. Bahkan pada abad ke 18, Murad IV, pernah untuk menutupnya. Namun mereka terlalu menguntungkan.
Pada abad ke-19, gerakan nasionalis semakin mendidih di seluruh negeri Ottoman, popularitas kedai kopi pun kian berkembang.
Kelompok etnis di wilayah Eropa dengan mayoritas Kristen Ortodoks Timur mulai menggalang dukungan untuk kemerdekaan.
Para pemimpin nasionalis merencanakan taktik mereka dan mempererat aliansi di kedai kopi Thessaloniki, Sofia dan Beograd.
Upaya mereka yang berbahan bakar kafein berbuah kemerdekaan Yunani pada tahun 1821, Serbia pada tahun 1835, dan Bulgaria pada tahun 1878. Pemerintahan Kahve telah berakhir.
Perlu dicatat bahwa runtuhnya kekaisaran Ottoman disebabkan oleh berbagai faktor yang kompleks, bukan hanya karena pengaruh kedai kopi. Kopi tidak secara langsung membantu runtuhnya kekaisaran Ottoman.
Namun tidak boleh dianggap enteng, dengan kopi mereka telah berhasil merencanakan taktik dan strategi dalam memerangi kekaisaran Ottoman. Apakah Anda sudah ngopi (ngr/roy).