PENGANTAR. Firmansyah Demma, aktivis kampus menuangkan gagasan dan kritik terhadap keberadaan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Penting menyamakan persepsi arah gerakan karena gerakan mahasiswa bukan sebatas gerakan sosial, tetapi juga Adalah Gerakan Politik.

Bagaimana BEM Universitas dan BEM Jurusan bergerak bersama jika berpotensi menimbulkan turbulensi disintegrasi? Ini tantangan besar, alhasil, yang tampak sekarang adalah faksi-faksi.

Firmansyah menulis artikel dalam format panjang sehingga Kabarika membagi menjadi tiga segmen agar Pembaca tetap nyaman. REDAKSI
____________________

KABARIKA.ID–SEYOGYANYA ada satu wadah tertinggi yang dijadikan sebagai episentrum atau titik temu antar mahasiswa dan lembaga mahasiswa dalam mengawal arah gerak mahasiswa UNHAS.

Penulis meyakini, bahwa telah banyak aktivis hebat yang lahir dari rahim Unhas dan saat ini tersebar di seluruh pelosok negeri.

Karenanya, untuk memperpanjang spirit ke-Unhasan, sekiranya mahasiswa UNHAS atau pihak kampus hari ini memiliki kesadaran yang konstruktif tentang pentingnya ketersediaan stok aktivis.

Kepeloporan spirit perjuangan mahasiswa UNHAS yang telah digoreskan dari generasi ke generasi, haruslah dipertegas kembali sebagai bentuk tanggung jawab intelektual dalam mengawal demokrasi dan tanggung moral dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.

Sebagai mahasiswa UNHAS, penulis mendorong pentingnya menginisiasi gerakan mahasiswa yang integratif.

Maksudnya ialah, bahwa spirit perjuangan mahasiswa UNHAS mestilah terjewantah dan terjaga dalam nuansa gotong royong yang secara kolektif bergerak untuk kemaslahatan umat.

Tak hanya secara individual, secara kelembagaan pun penting kiranya kita menyamakan persepsi dan menyatukan gerak dalam satu wadah yang bisa menjadi laboratorium aspirasi.

Itu sangat dibutuhkan sebagai kondisi ideal yang dapat melahirkan kekuatan besar dari rahim UNHAS. Kita sebagai mahasiswa UNHAS harus membangun harapan dan cita-cita itu.

Oleh karena itu, sudah seyogyanya ada satu wadah tertinggi yang dijadikan sebagai episentrum atau titik temu antar mahasiswa dan lembaga mahasiswa dalam mengawal arah gerak mahasiswa UNHAS.

Dalam hal ini, BEM UNHAS adalah jawabannya.

Di dalam dunia aktivisme kampus terkhususnya di UNHAS, kita mengenal BEM Universitas dan BEM fakultas. Keduanya sama-sama memiliki status legal secara administratif.

Tetapi, di tengah eksistensi BEM UNHAS dan BEM fakultas di kampus merah ini, kita diperhadapkan dengan satu tantangan besar, yaitu tantangan disintegrasi. Alhasil, yang tampak sekarang adalah faksi-faksi.

Bagi penulis, kondisi itu muncul sebagai kenyataan lantaran kita terkadang terjebak dalam perdebatan bahwa suatu wadah yang bisa menjadi lembaga kolektif mahasiswa digandrungi oleh hal-hal negatif.

Dan sayangnya, sebagian diantara kita (mahasiswa) tidak berupaya maksimal mengejewantahkan itikad baiknya untuk mengubah kondisi tersebut (jika memang ada yang dianggap tidak benar).

Seharusnya, apabila kita memiliki kesadaran tentang pentingnya melakoni sebuah gerakan yang kolektif, maka sudah sepatutnya kita dapat memperjuangkan lembaga mahasiswa yang seyogyanya menjadi pemersatu, penyambung aspirasi, dan laboratorium pemikiran.

Oleh penulis, bukan hal mustahil untuk mewujudkan itu semua. Mahasiswa UNHAS harus berangkat dari optimisme. Bahwa kita layak mengukir sejarah kita sendiri untuk mewujudkan persatuan gerakan di kampus merah.

Mewujudkannya itu bukan sesuatu yang tidak mungkin. Sebab segala potensi kekuatan dimiliki oleh mahasiswa UNHAS.

Baik secara kualitas pemikiran maupun dari segi kuantitas. Jika keduanya dikawinkan dengan satu cita-cita mulia, percayalah, wadah kolektif akan kita raih.

Pentingnya Mempelopori Gerakan Mahasiswa UNHAS Yang Progresif dan Inklusif

Apabila cita-cita gerakan kolektif mahasiswa UNHAS telah terwujud, maka selanjutnya yang harus dipikirkan bersama adalah bagaimana mewujudkan gerakan mahasiswa UNHAS yang progresif dan inklusif.

Pada umumnya, istilah progresif kita gaungkan sebagai upaya untuk menjaga nafas perjuangan secara berkelanjutan dan berkemajuan.

Sedang inklusif, merupakan sebuah sikap kedewasaan dalam berlembaga yang tidak menutup diri dari berbagai paradigma yang berkembang.

Mempertahankan kebenaran yang kita anut sendiri memanglah suatu hal yang baik. Tapi, ingat, membuka ruang terhadap sudut pandang yang lain juga tidak ada salahnya. Konsep itu itulah yang secara kritis kita ingin jadikan sebagai sebuah kenyataan.

Artinya, untuk menerjemahkan gerakan mahasiswa Unhas yang kolektif, tidak boleh ada yang merasa benar sendiri atau menutup diri dari realitas kebenaran yang lainnya (eksklusif). Begitulah seharusnya kita menjaga dan merawat keberagaman persepsi dalam gerakan.

Tulisan ini tidak mencoba untuk menguak siapa yang paling benar atau yang paling layak untuk dibenarkan dalam kondisi gerakan mahasiswa Unhas hari ini. Tetapi, tulisan ini mencoba merangsang dan mengajak kita semua untuk mulai membangun gerakan kolektif yang progresif dan inklusif dengan penuh kesadaran.

Hal itu sangat penting, karena masa depan gerakan mahasiswa Unhas tidak boleh terus menerus dalam turbulensi disintegrasi.

Kita sadari bersama, bahwa bergerak dalam turbulensi disintegrasi adalah sesuatu yang tidak menyenangkan. Dikarenakan kita harus bergerak diantara pertentangan-pertentangan kita sesama mahasiswa UNHAS Sehingga, kepeloporan perjuangan kita kadang kala terseok-seok di tengah jalan.

Memang, perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Dinamika kelembagaan juga adalah konsekuensi logis dalam bergerak. Tetapi sebagai manusia yang berpikir, kita seharusnya arif menyikapi setiap perbedaan.

Bahwa terus berbenah secara bijak untuk kemaslahatan bersama adalah sesuatu yang juga tidak boleh terlupakan.

Pernahka kita merefleksi, mengapa disintegrasi ini seolah tiada hentinya? Pernahka kita berpikir, apakah ini murni keinginan kita sebagai mahasiswa atau ada unsur lain?

Mahasiswa UNHAS yang menggandrungi dunia kelembagaan pastilah bisa menganalisa dan menjawab pertanyaan di atas.

Berangkat dari pertanyaan tersebut, alangkah eloknya jika disintegrasi gerakan mahasiswa UNHAS diselesaikan dengan secepatnya melalui keterbukaan pikiran antar sesama mahasiswa dan lembaga mahasiswa.

Disadari atau tidak, BEM-U pada faktanya memiliki kekuatan besar dalam bergerak, sebab secara normatif BEM-U menjadi lembaga mahasiswa tingkat universitas yang dapat merongrong dan mempengaruhi kebijakan kampus.

Sementara BEM-BEM fakultas memiliki kekuatan akar rumput yang juga tak boleh dilupakan.

Artinya, kedua entitas itu masing-masing memiliki potensi yang baik. Maka menjadi suatu kepastian akan adanya gerakan progresif yang baik pula apabila keduanya dikawinkan.

Oleh sebab itu, penulis mengajak semua mahasiswa Unhas untuk bersama-sama melakukan upaya musyawarah yang baik dalam hal menginisiasi kolektifitas gerakan mahasiswa yang progresif dan inklusif. (Bagian kedua dari tiga tulisan).

Catatan: Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) adalah organisasi mahasiswa intra kampus yang merupakan lembaga eksekutif di tingkat Universitas atau Institut. Umumnya, BEM dipimpin oleh seorang Ketua dan Wakil Ketua. Untuk melaksanakan program-program kerjanya