Oleh Amril Taufik Gobel
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
KABARIKA.ID-JAKARTA-Di ujung barat laut Papua, Indonesia, terbentang sebuah kepulauan yang dikenal sebagai “surga terakhir dunia” – Raja Ampat. Kawasan ini menyimpan kekayaan hayati laut yang tak tergantikan, dengan terumbu karang yang memukau dan keanekaragaman spesies laut yang menjadikannya pusat ekowisata global.
Namun, keindahan alamnya kini terancam oleh desakan kepentingan ekonomi dari sektor pertambangan nikel yang semakin masif, menciptakan perdebatan sengit antara konservasi lingkungan dan potensi keuntungan finansial yang menggiurkan.

Kekayaan biologis Raja Ampat memang menakjubkan. Sebagai jantung Segitiga Karang dunia, wilayah ini menampung sekitar 75% dari seluruh spesies karang keras yang diketahui di planet ini, dengan lebih dari 540 jenis terumbu karang yang telah teridentifikasi menurut data Conservation International.
Keanekaragaman terumbu karang ini membentuk fondasi yang diperlukan untuk mendukung 1.500 spesies ikan yang tinggal di Raja Ampat, menjadikannya yang tertinggi dalam segitiga karang, dan karena itu di dunia.
Terletak di persimpangan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, Raja Ampat telah digambarkan sebagai ‘pabrik spesies’, di mana arus laut dalam yang kuat menyalurkan nutrisi ke dalam terumbu karang pinggiran Raja Ampat yang halus, tebing air biru, dataran bakau, dan padang lamun untuk membentuk fondasi rantai makanan yang memberi makan keanekaragaman hayati laut yang spektakuler.
Namun, di balik pesona alamnya, Indonesia memiliki posisi strategis sebagai pemilik cadangan nikel terbesar dunia. Berdasarkan catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2023, cadangan nikel nasional diperkirakan mencapai 4,8 miliar ton, dengan Raja Ampat menjadi salah satu lokasi strategis untuk eksploitasi mineral ini.
Nikel memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi, terutama sebagai bahan baku industri baterai kendaraan listrik dan baja tahan karat yang permintaannya terus meningkat secara global.
Daya tarik ekonomis dari pengembangan tambang nikel di Raja Ampat memang sangat signifikan. Menurut proyeksi Badan Koordinasi Penanaman Modal tahun 2023, investasi pertambangan di kawasan ini diprediksi mampu menyerap lebih dari 5.000 tenaga kerja lokal secara langsung dan berkontribusi hingga Rp 2 triliun per tahun untuk pendapatan daerah.
Pembangunan tambang juga diharapkan dapat mendorong pengembangan infrastruktur dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat yang selama ini bergantung pada sektor perikanan dan pariwisata.
Sayangnya, realitas di lapangan menunjukkan dampak yang mengkhawatirkan. Analisis Greenpeace mengungkapkan bahwa eksploitasi nikel di tiga pulau ini telah menyebabkan kerusakan lebih dari 500 hektar hutan dan vegetasi asli khusus, dengan dokumentasi ekstensif menunjukkan limpasan tanah menyebabkan kekeruhan dan sedimentasi di perairan pesisir sebagai ancaman langsung.
Laporan Auriga Nusantara menemukan bahwa lahan yang digunakan untuk pertambangan di Raja Ampat bertambah sekitar 494 hektar dari tahun 2020 hingga 2024, yaitu sekitar tiga kali lipat dari tingkat ekspansi lima tahun sebelumnya.
Victor Nikijuluw, seorang penasihat program yang menjadi pakar dalam konservasi laut, memberikan peringatan keras mengenai dampak pertambangan terhadap ekosistem.
Menurut Nikijuluw, “Sedimentasi, atau limbah limpasan yang dihasilkan dari penambangan di darat yang mengalir ke air, menghancurkan ekosistem laut hilir”. Pernyataan ini didukung oleh temuan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada 2023 yang memprediksi dampak lingkungan dari pertambangan nikel di kawasan pesisir dapat menyebabkan penurunan populasi terumbu karang hingga 30% dalam kurun waktu lima tahun jika tidak dilakukan pengelolaan yang ketat.
Pertambangan terbuka atau open-pit mining yang umumnya digunakan untuk ekstraksi nikel membawa konsekuensi serius berupa kerusakan habitat, erosi tanah, dan pencemaran air laut akibat limbah yang mengandung logam berat.
Kondisi ini sangat membahayakan ekosistem terumbu karang dan biota laut lainnya yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap perubahan kualitas air. Pencemaran tersebut dapat mengakibatkan kematian massal ikan dan organisme laut penting lainnya yang menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat lokal.
Perkembangan terbaru menunjukkan bahwa pemerintah mulai mengambil langkah tegas dalam merespons kekhawatiran masyarakat. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah menghentikan sementara operasi pertambangan nikel di Pulau Gag di Raja Ampat sambil menunggu verifikasi lapangan, menyusul keprihatinan publik atas kedekatan mereka dengan area konservasi laut.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menegaskan, “Pertambangan di pulau-pulau kecil sebenarnya merusak prinsip keadilan antargenerasi. Kementerian tidak akan ragu untuk mencabut izin jika ada bukti kerusakan pada ekosistem yang tidak dapat diganti”.
Industri pariwisata yang selama ini menjadi sektor unggulan di Raja Ampat juga menyuarakan keprihatinan mereka. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia menyatakan bahwa meskipun fasilitas produksi nikel di Pulau Gag kemungkinan akan merangsang ekonomi lokal, dampak buruknya terhadap lingkungan pulau dan ekosistem laut kemungkinan akan berdampak pada Taman Laut Raja Ampat yang berdekatan, destinasi wisata super prioritas.
Data dari Dinas Pariwisata Kabupaten Raja Ampat menunjukkan bahwa sektor pariwisata memberikan kontribusi langsung sebesar Rp 1,5 triliun per tahun dan menyerap lebih dari 7.000 tenaga kerja lokal pada tahun 2023.
Perdebatan ini memunculkan pertanyaan fundamental tentang bagaimana para pemangku kepentingan dapat mencapai keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan konservasi lingkungan.
Aktivis lingkungan menuntut moratorium pertambangan di wilayah ini untuk mempertahankan integritas ekosistem, sementara pelaku industri berargumen bahwa dengan teknologi pertambangan ramah lingkungan dan pengelolaan berkelanjutan, dampak negatif dapat diminimalisir.
Dalam konteks regulasi, pemerintah Indonesia telah menerbitkan berbagai kebijakan untuk mengatur aktivitas pertambangan di kawasan konservasi, termasuk Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Laut dan Pesisir, serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.43/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2019 yang mengatur tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan sebagai prasyarat pemberian izin tambang. Namun, implementasi dan pengawasan regulasi tersebut masih menghadapi tantangan besar di tingkat operasional.
Peran komunitas lokal dalam pengelolaan sumber daya alam di Raja Ampat sangat krusial untuk dipertimbangkan. Masyarakat adat dan nelayan tradisional memiliki pengetahuan mendalam mengenai kondisi lingkungan dan prinsip-prinsip keberlanjutan pemanfaatan sumber daya laut.
Pelibatan mereka dalam proses pengambilan keputusan dan pengawasan pertambangan dapat menjadi kunci untuk mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak.
Pengembangan ekowisata berbasis konservasi muncul sebagai alternatif menjanjikan yang dapat memberikan nilai ekonomi berkelanjutan tanpa merusak lingkungan. Model ini terbukti efektif dalam mempertahankan sumber penghasilan utama masyarakat sambil menjaga kelestarian lingkungan yang menjadi daya tarik utama kawasan tersebut.
Kontroversi pertambangan di Raja Ampat pada akhirnya mencerminkan dilema klasik antara kebutuhan pembangunan ekonomi dan tanggung jawab pelestarian lingkungan.
Meskipun potensi keuntungan dari tambang nikel sangat menggiurkan dan dapat membawa manfaat ekonomi substansial bagi Indonesia dan masyarakat lokal, jika tidak dikelola dengan pendekatan yang hati-hati dan berkelanjutan, aktivitas tersebut berisiko merusak ekosistem yang menjadi warisan alam tak ternilai.
Strategi pengelolaan yang integratif dan partisipatif harus segera diimplementasikan dengan melibatkan pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat dalam mencari titik tengah yang dapat mengakomodasi kepentingan ekonomi sekaligus menjaga kelestarian lingkungan.
Dalam perspektif jangka panjang, mempertahankan keindahan dan keanekaragaman hayati Raja Ampat akan menjadi investasi yang jauh lebih berharga dibandingkan keuntungan sesaat dari eksploitasi tambang nikel yang dapat mengancam keberlanjutan ekosistem unik ini untuk generasi mendatang.