Oleh Shamsi Ali*

 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

DI hari terakhir hari besar Yahudi yang disebut Sukkot, atau hari bergembira dengan berakhirnya ketersesatan 40 tahun di padang pasir (يتيهون في الارض اربعين سنة) berbalik 180% dengan apa yang banyak disebut sebagai serangan kejutan pejuang (surprise attack) Hamas di sebuah perbatasan Gaza dan salah satu daerah pendudukan (settlement) Israel di tanah Palestina.

Konon kabarnya serangan ini adalah  serangan terbesar sejak peperangan Yum Kippur yang juga terjadi di bulan Oktober 1973 lalu. Peperangan kali ini juga terjadi hanya beberapa hari berselang setelah perayaan tahun baru Yahudi yang disebut Yum Kippur itu. Ratusan warga Yahudi Israel tewas dan puluhan lainnya ditangkap dan dibawa ke kota Gaza oleh para militan Hamas.

Perdana Menteri Benjamin Natanyahu segera mengumumkan jika negaranya dalam keadaan perang (state of war). Tentu bagi Natanyahu peristiwa ini bagaikan telur di ujung tanduk. Pemerintah dianggap gagal total secara intelijen mengantisipasi penetrasi pejuang Hamas ke tanah yang diduduki Israel itu. Serangan balasan pun dilakukan secara masif, menewaskan juga ratusan warga Palestina di Gaza.

Sementara itu, semua pemerintahan negara-negara Barat, termasuk Amerika, segera melemparkan kutukan dengan nyanyian lama yang sama: “serangan teroris” Hamas ke negara sekutu mereka. Hampir semua media dan politisi di negara Barat menyebutkan ini sebagai serangan teror. Seolah menguatkan kembali stempel Hamas sebagai organisasi teroris.

Di sisi lain, dunia Islam juga ikut bersuara. Walaupun suara-suara itu hanya terdengar sayap-sayup, yang nampak diselimuti rasa was-was dan kekhawatiran. Barangkali yang terbuka dalam pernyataan hanya Qatar, Turki dan Malaysia (juga Iran) yang dengan suara lantang mengutuk serangan Israel ke Gaza.

Saya tidak tertarik lagi mengutip hal-hal yang terlalu terbuka di berbagai media, baik media mainstream maupun media sosial. Yang ingjn saya bahas adalah kira-kira langkah apa yang harus diambil untuk menyelesaikan konflik ini. Namun saya ingin pastikan juga bahwa pembunuhan rakyat sipil, baik di pihak Palestina maupun  Isreal harus dikecam. Nyawa manusia semua sama tanpa pandang bulu kebangsaan, ras atau etnis, bahkan agama sekalipun.

Selain itu saja kita memakai hati nurani dan akal sehat dalam melihat peristiwa ini, tentu akan dipahami bahwa salah satu akar penyebabnya adalah isu kehormatan dan harga diri Palestina yang selama ini terinjak-injak. Membela kehormatan dan harga diri (dignity) bagi manusia yang bermartabat adalah kewajiban suci.

Berikut adalah hal-hal mendasar yang harus diperhatikan untuk menyelesaikan konflik ini:

Satu, memahami akar permasalahan yang ada. Isu Palestina-Israel sesungguhnya bukan konflik antardua bangsa (apalagi negara), melainkan isu penjajah dan terjajah. Maka akar permasalahan sesungguhnya adalah “penjajahan” kepada bangsa Palestina oleh Israel.

Dua, menyadari bahwa kemerdekaan adalah hak asasi semua manusia (dan hak segala bangsa). Dan karenanya suatu bangsa yang terjajah punya hak mendasar untuk memperjuangkan kemerdekaannya. Proses untuk mendapatkan hak dasar itu disebut “perjuangan” (struggle) dan bukan terorisme.

Tiga, penyelesaian isu Palestina-Israel memungkinkan terjadi jika Israel sadar bahwa hak kemerdekaan Palestina harus diberikan. Atau tepatnya penjajahan Israel harus dihentikan. Hal-hal lain, seperti batas-batas geografis, isu Jerusalem, tanah pendudukan Israel, serta hak bangsa Palestina yang di luar negeri untuk kembali ke negaranya menjadi bagian yang mendasar dari penyelesaian menyeluruh.

Empat, penyelesaian isu kedua bangsa ini juga akan banyak ditentukan oleh sikap kejujuran dunia internasional. Selama dalam melihat isu ini secara tidak jujur dan tidak adil, apalagi dengan double standard dan kemunafikan, kekerasan-kekerasan itu akan terus berlanjut. Berpura-pura jadi mediator tapi memihak, itu kemunafikan. Mediator itu tidak memihak ke salah satu dari dua kubu yang bertikai.

Lima, penyelesaian isu Palestina-Israel juga banyak ditentukan oleh umat Islam (negara-negara mayoritas Muslim). Selama negara-negara Islam terbuai dengan pemecah belahan, sebagian diberi rangkulan dan yang lain diberi tendangan, selama itu pula Israel akan seenaknya memperlakukan bangsa Palestina dengan kezholiman-kezholiman.

Enam, penyelesaian ini juga hampir mustahil terjadi jika bangsa Palestina dengan ragam faksi yang ada tidak dapat membangun persatuan. Karenanya selama Fatah dan Hamas sebagai dua kubu dominan terpecah, selama itu pula pihak seberang bertepuk tangan dengan kemenangan.

Tujuh, hendaknya isu Palestina-Israel tidak sekedar dipandang sebagai isu partikularitas, kebangsaan dan agama misalnya. Walaupun sentimen agama terlibat dalam konflik ini. Tapi harus dilihat dengan kacamata yang lebih luas dan universal. Isu Palestina vs Israel adalah isu kemanusiaan. Isu hak asasi manusia yang harusnya dijamin dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia Jenewa (Geneva declaration of human rights).

Semoga Allah memberikan hak-hak dasar kepada semua yang masih berjuang untuk hak-hak itu. Semoga perdamaian mendapat tempat dalam dunia dengan keadilan untuk semua (justice for all). Amin!

New York, 9 Oktober 2023

————

*Penulis adalah Board Member, NYC  Partnership of Faith