KABARIKA.ID, JAKARTA–Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menekankan pentingnya Indonesia memiliki Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mengingat dunia sudah memasuki era internet of military things/internet of battle-field things, dimana operasi militer semakin dapat dikendalikan dari jarak sangat jauh dengan lebih cepat, tepat, dan akurat.
Sekaligus meningkatkan fungsi perangkat militer menjadi lebih efektif dan optimal. Sebagaimana terlihat dalam perang Rusia – Ukraina, maupun perang Hamas – Israel.
Menghadapi G-V, Singapura, Jerman, dan Tiongkok merupakan contoh negara yang telah membentuk Angkatan Siber sebagai matra tersendiri. Pasukan siber Tiongkok diprediksi yang terbesar di dunia, mencapai 145 ribu personil.
“Indonesia tidak boleh ketinggalan. Karenanya, pembuatan Angkatan Ke-IV, Angkatan Siber (AS) sebagaimana diusulkan Lemhannas RI, menjadi keniscayaan. Sehingga bisa memperkuat Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara AU),” ujar Bamsoet dalam keterangan tertulisnya, Rabu (15/11/2023).
Untuk mewujudkannya, terlebih dahulu bangsa Indonesia perlu amandemen kelima konstitusi untuk mengubah ketentuan pasal 10 dan pasal 30 ayat 3, sehingga TNI tidak hanya terdiri dari AD, AL, dan AU, melainkan ditambah dengan Angkatan Siber (AS).
Mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, Indonesia sangat rentan terhadap serangan siber. Misalnya, selama semester I-2023, DKI Jakarta menjadi wilayah dengan sumber serangan siber terbanyak dibandingkan provinsi lain, mencapai 11,2 juta serangan.
Secara nasional, pada September 2023 saja, tercatat ada sekitar 6 juta serangan siber menghantam Indonesia.
Berdasarkan data alamat protokol internet yang digunakan untuk melakukan serangan siber, Indonesia menduduki peringkat ke-11 dunia sebagai kontributor serangan siber terbanyak.
Secara global, Indonesia juga menempati posisi ke-8 negara di dunia dengan jumlah kasus kebocoran data tertinggi di internet, dan sekaligus menjadi negara dengan tingkat pembobolan data terbanyak se-Asia Tenggara.
“Indeks pertahanan siber Indonesia juga masih sangat lemah, berada di kisaran 3,46 poin, jauh dari indeks rata-rata global sebesar 6,19 poin. Sebagai data pembanding, National Cyber Security Index (NCSI) juga mencatat nilai keamanan siber di Indonesia sebesar 64 persen, menempati urutan ke-47 secara global,” jelas Bamsoet.
Melalui serangan siber, sebuah negara bisa membuat jaringan telekomunikasi dan internet di negara lain mati total, digital perbankan kacau, radar militer maupun penerbangan sipil tidak bisa digunakan.
“Bahkan lebih mengerikan, alat tempur seperti pesawat dan kapal selam di remote dari luar negeri untuk melakukan serangan seperti melempar bom tanpa bisa dikendalikan oleh kita. Hal seperti itu bisa saja terjadi. Saat ini saja, jika kita melaporkan kehilangan handphone, dari kantor pusat bisa langsung di destruct sehingga si pencuri tak bisa menggunakan. Karena itu, kedepan saat membeli alat tempur atau sarana prasarana critical infrastructure dari luar negeri, beberapa codingnya harus diganti melalui Angkatan Siber. Sehingga pabrikan asalnya tidak lagi punya kendali penuh. Hal ini untuk meminimalisir anasir jahat dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab,” pungkas Bamsoet. (**)