KABARIKA.ID, BANTUL – Matahari hangat menyentuh kulit, cukup untuk mengeringkan jemuran, karena awan terlihat menutupinya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kendati begitu, di sebuah halaman rumah di bilangan Jalan Gebangan Palbapang, Klodran, Kecamatan Bantul, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, terlihat sebuah kotak-kotak dadu dan persegi dijemur di sana.

Ya, di rumah dengan halaman cukup luas itu, banyak kulit kerbau yang berwarna putih kecoklatan dan kehitaman dijemur.

Dan wajar saja, karena tempat itu adalah rumah produksi Krecek Bu Ipik. Krecek atau kerecek adalah kulit sapi yang dikeringkan yang digunakan dalam masakan atau dibuat kerupuk.

Sehingga wajar saja, saat masuk ke tempat itu, bau khas kulit kerbau menusuk hidung. Saat baru masuk, selain langsung melihat potongan kulit sapi yang dijemur dan aroma bau kulit yang dimasak. Kita juga akan melihat sejumlah ibu-ibu yang sedang memotong-motong kulit kerbau dengan berbagai ukuran.

Di sisi lain kaum prianya memasak serta mengeril sisa bulu yang melekat di kulit kerbau itu, yang ternyata didatangkan dari jarak yang cukup jauh, yaitu Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan.

Salah satu pekerja yang usianya sudah 57 tahun, Tumira bercerita sedikit proses pembuatan krecek. Mulai dari kulit kerbau dicuci hingga bersih, kemudian direndam selama satu malam. Setelah direndam, kulit tersebut kemudian direbus dalam tong besar hingga mengembang dan lembek.

“Kulit kerbau direndam dulu semalam, kemudian direbus, selanjutnya dibersihkan bulunya, setelah itu baru dipotong kecil-kecil,” ungkap Tumira sambil memotong kulit kerbau yang sudah bersih dari bulu-bulu.

Saat ngobrol dan melihat-lihat proses pemotongan kulit menggunakan alat yang sudah dimodifikasi. Sebuah mobil buka tenda masuk ke halamana rumah itu. Mobil diparkir tidak jauh dari tumpukan kulit yang dijemur.

Turun dari kendaraannya, Riyadi, 36 tahun, pemilik usaha tersebut, menyapa ramah. Dia baru saja selesai mengantarkan sejumlah pesanan krecek ke pelanggan.

Menurutnya, usaha itu turunan. Dia mengaku meneruskan usaha sang ibu sebagai produsen krecek. “Ini sudah dari tahun 1980-an, dari ibu saya (Bu Ipik). Pemasarannya masih di sekitar Jogja saja,” menurut Riyadi.

Dia bercerita, jika untuk pemasaran, biasanya para pelanggan datang ke rumahnya yang sekaligus menjadi tempat produksi krecek, yang sebagian besar adalah para pedagang yang menjual kembali krecek-krecek itu pada konsumen atau pedagang eceran.

Tapi, tidak jarang dia juga menyetor krecek-krecek itu ke Pasar Beringharjo, salah satu pasar terbesar di Yogyakarta. “Buat kulakan saja sih di sini. Kalau ngedrop paling ke Beringharjo. Luar kota jarang sih,” lanjutnya.

Selain itu, perusahaan katering dan orang-orang yang memiliki hajatan, pelanggan krecek adalah penjual gudeg. Sebab krecek menjadi salah satu bahan yang bisa dikatakan harus ada dalam kuliner khas Yogyakarta tersebut.

Ternyata, sebagai pengkonsumsi krecek, saya baru tahu, jika produksi krecek itu juga punya nilai untuk kualitas hasil, yang tergantung dari bahan kulitnya. Karena kulit kerbau itu beda dengan kulit sapi. Sehingga ada kelas atau nomornya sendiri, sehingga berbeda dari segi harga pula.

Harga krecek nomor satu dan nomor dua tidak terpaut terlalu jauh. Untuk nomor satu Rp150 ribu per kilogram, dan nomor dua Rp130 ribu per kilogram. Lalu harga krecek nomor tiga dibanderol dengan harga Rp 85 ribu per kilogram.

“Selisihnya agak jauh yang nomor dua dan tiga, karena yang nomor tiga itu semacam sudah sortir-sortiran begitu,” sebut Riyadi.

Saat ini, dalam sehari usaha krecek Bu Ipik ini mampu mengolah kulit kerbau dan sapi sebanyak lima kuintal. Meskipun proses produksinya sangat tergantung pada cuaca.

Sebab dalam membuat krecek, kulit kerbau harus dijemur hingga benar-benar kering. Waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan kulit yang telah dippotong-potong sekitar lima hari jika matahari bersinar terik.

“Jika cuaca mendung, tidak jarang pengeringan bisa sampai dua minggu. Bahkan terkadang proses pengeringan harus dilakukan dengan dipanggang,” kata Riyadi.

Setelah potongan-potongan kulit kerbau itu kering, selanjutnya digoreng dalam minyak panas sampai mengambang, dan didinginkan kembali. Setelah dingin, krecek setegah jadi itu kembali digoreng dalam minyak dengan api kecil. Lama penggorengannya minimal delapan jam.

“Setelah dingin dinyalakan lagi dengan api kecil minimal 8 jam. Jangan besar apinya karena bisa tidak matang. Setelah matang diangkat, dan dipilih besar atau kecilnya. Karena kadang ada rambak yang sudah gosong tapi yang lain belum matang karena ketebalannya,” lanjut Tumira dalam bahasa Jawa. (*)