KABARIKA.ID, MAKASSAR – Bulan Ramadan tahun ini memiliki makna istimewa bagi orang Libya, terutama di ibu kota Tripoli. Tradisi meriam iftar yang dihapuskan sejak akhir 1970-an pada masa pemerintahan Presiden Muammar Qaddafi, dihidupak kembali mulai Ramadan ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Suara dentuman meriam yang terdengar di berbagai penjuru kota Tripoli beberapa saat sebelum azan Magrib terdengar pada awal Ramadan ini, merupakan pertanda kebangkitan kembali tradisi Ramadan yang telah hilang lebih dari tiga dekade terakhir.

Seorang pria berswafoto saat pejabat kota Tripoli bersiap menembakkan meriam Iftar menandai waktu berbuka puasa di Martyrs Square, kota Tripoli, pada hari pertama bulan suci Ramadan, 23 Maret 2023.

Asal-usul tradisi meriam iftar itu sendiri masih belum jelas, tetapi kemungkinan besar berasal dari Mesir saat berada di bawah kekuasaan Ottoman pada abad ke-19. Meriam iftar digunakan ketika pihak berwenang ingin memberitahu masyarakat yang tidak memiliki penunjuk waktu bahwa waktu berbuka puasa telah tiba.

Dentuman meriam di jantung kota Tripoli yang menjadi penanda berakhirnya puasa hari pertama Ramadan ini, bukan hanya pertanda dihidupkannya tradisi muslim Libya yang telah dibekukan selama puluhan tahun, namun juga menandakan geliat kebangkitan umat Islam di negara itu.

Tentara berseragam menggelar karpet merah di Lapangan Syuhada di kota Tripoli sebagai alas senjata meriam yang telah berusia 600 tahun.

Pemerintah Libya mengumumkan pelaksanaan kembali tradisi tersebut pada awal Ramadan ini. Akram Dribika, pejabat kota yang menyelenggarakan acara tersebut, mengatakan, menampilkan kembali meriam Ramadan merupakan cara untuk membawa kembali kebahagiaan penduduk Tripoli.

“Agar warga dapat menyaksikan kembali bagaimana penembakan meriam untuk iftar dilakukan,” kata Akram.

Revolusi tahun 2011 yang menggulingkan dan menewaskan Presiden Libya Muammar Qaddafi memicu perebutan kekuasaan yang mencekam disertai kekerasan, dan berlangsung hingga satu dekade lebih.

Warga menikmati keceriaan dekorasi di sebuah kawasan Tripoli, pada hari pertama Ramadan, 23 Maret 2023.

Di tengah suasana politik yang berubah, banyak orang Libya yang merindukan warisan budaya kuno yang kaya di negara itu dihidupkan kembali.

Nouri Sayeh mengatakan ia kebetulan lewat di Lapangan Syuhada sewaktu melihat meriam tersebut dan mengatakan, “ini adalah kejutan yang indah.”

Lelaki yang berprofesi sebagai polisi itu mengatakan hal itu merupakan warisan Ramadan di kalangan rakyat Libya.

“Penembakan meriam ini adalah bagian dari warisan Ramadan kami. Ini benar-benar penting dan merupakan tradisi yang harus kita lestarikan,” ujar Nouri.

Penembakan meriam ini merupakan bagian dari upaya yang lebih luas dari pihak berwenang dan masyarakat sipil untuk menghidupkan kembali medina atau alun-alun tua kota Tripoli, setelah puluhan tahun telantar selama 40 tahun pemerintahan Qaddafi yang disusul dengan kekacauan setelahnya.

Seniman, pengrajin dan pedagang di toko membawa kehidupan baru di gang-gang berbatu, di mana orang-orang Romawi, Yunani dan Ottoman pernah melewatinya pada masa lalu.

Setelah iftar, keluarga-keluarga Libya berduyun-duyun ke kota tua dan Lapangan Syuhada. Orang tua membelikan permen untuk anak-anak mereka, sementara orang-orang muda duduk-duduk di bangku dan minum kopi atau berswafoto di depan hiasan Ramadan.

Selama dua tahun berturut-turut, pemerintah kota menghiasi alun-alun utama dan gang-gang dengan bendera, lentera tradisional dan hiasan berbentuk bulan sabit.

Seorang pria membeli permen kapas untuk putranya, di sebuah kawasan hiburan di Tripoli, pada hari pertama bulan suci Ramadan, 23 Maret 2023.

Rasha Ben Ghara yang dibesarkan di kawasan itu mengatakan, ia suka sekali melihat keramaian dan lampu-lampu hias.

“Bertahun-tahun sebelum itu, warga harus menggunakan senter dari ponsel mereka untuk melewati gang-gang tak beraspal di kota tua itu,” ujar Rasha mengenang keadaan sebelumnya.

Kehancuran merupakan pemandangan di kota tua. “Setelah direnovasi kehidupan kembali bangkit di sana. Sebelumnya, orang-orang datang untuk berbelanja di pasar, tetapi sekarang mereka datang untuk mengagumi pemandangan dan warisan budaya,” papar Rasha.

Bahkan orang-orang muda pun mengatakan mereka mencintai kota tua itu.
Motassam Hassan, mahasiswa ilmu komputer mengatakan, ia berharap ada upaya-upaya renovasi serupa di seluruh Libya.

“Apa yang kita lihat di alun-alun tua harus ditiru di mana-mana, di luar kota Tripoli, sehingga semua terang benderang seperti ini,” ujar Motassam.

Orang-orang Libya khususnya di kota Tripoli merasakan berkah Ramadan kali ini melalui tradisi meriam iftar.

(Muhammad Ruslan)