KABARIKA.ID, JAKARTA — Ketua Steering Comitte (SC) Ijtima Ulama Komisi VIII, Prof KH Asrorun Niam Sholeh menyampaikan, hasil Ijtima Ulama VIII tidak memperbolehkan adanya salam lintas agama.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Prof Niam menjelaskan, penggabungan ajaran berbagai agama termasuk pengucapan salam dengan menyertakan salam berbagai agama bukanlah makna toleransi yang dibenarkan.

Karena dalam Islam, kata Prof Niam yang juga Ketua MUI Bidang Fatwa, mengucapkan salam merupakan doa yang bersifat ubaidiah.

“Karenanya harus mengikuti ketentuan syariat Islam dan tidak boleh dicampur adukkan dengan ucapan salam dari agama lain,” kata Prof Niam membacakan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII.

Prof Niam menerangkan, pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram. Sebab, pengucapan salam dengan cara menyertakan salam berbagai agama bukan merupakan implementasi dari toleransi dan atau moderasi beragama yang dibenarkan.

“Dalam forum yang terdiri atas umat Islam dan umat beragama lain, umat Islam dibolehkan mengucapkan salam dengan Assalamu’alaikum dan atau salam nasional yang tidak mencampuradukkan dengan salam doa agama lain, seperti selamat pagi,” tegasnya.

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menjelaskan, dalam prinsip hubungan antar umat beragama, Islam menghormati pemeluk agama lain dengan menjamin kebebasan umat beragama dalam menjalankan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya.

Hal itu juga harus dengan prinsip-prinsip seperti toleransi (al-tasamuh), sesuai dengan tuntunan Al Qur’an “lakum dinukum wa liyadin” yang artinya untukmu agamamu, dan untukku agamaku. Juga tanpa mencampuradukkan ajaran agama (sinkretisme).

Dalam masalah muamalah, perbedaan agama tidak menjadi halangan untuk terus menjalin kerja sama (al-ta’awun) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara harmonis, rukun dan damai,” kata Prof Niam yang juga Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah, Depok, Jawa Barat.

Meski begitu, Prof Ni’am menegaskan, umat Islam tidak boleh mengolok-olok, mencela dan atau merendahkan agama lain (al-istihza’).

“Antar umat beragama tidak boleh mencampuri dan atau mencampuradukkan ajaran agama lain,” tegasnya.

Kegiatan ini diikuti oleh 654 peserta dari unsur pimpinan lembaga fatwa Ormas Islam Tingkat Pusat, pimpinan Komisi Fatwa MUI se-Indonesia, pimpinan pesantren tinggi ilmu-ilmu fikih, pimpinan fakultas Syariah perguruan tinggi keIslaman, perwakilan lembaga fatwa negara ASEAN dan Timur Tengah seperti Malaysia dan Qatar, individu cendekiawan muslim dan ahli hukum Islam, serta para peneliti sebagai peninjau.