KABARIKA.ID, DEN HAAG — Mahkamah Pidana Internasional PBB (The International Court of Justice – ICJ) dalam sidangnya pada Jumat (19/07/2024) di Den Haag, memutuskan bahwa kehadiran Israel yang terus berlanjut di wilayah pendudukan Palestina adalah melanggar hukum dan harus diakhiri “secepat mungkin” (as rapidly as possible).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Nawaf Salam, presiden ICJ di Den Haag, membacakan pendapat penasihat yang tidak mengikat yang dikeluarkan oleh panel beranggotakan 15 hakim mengenai pendudukan Israel di wilayah Palestina, pada hari Jumat.
Para hakim menunjuk pada serangkaian kebijakan –termasuk pembangunan dan perluasan pemukiman Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, penggunaan sumber daya alam di wilayah tersebut, aneksasi dan penerapan kontrol permanen atas tanah, serta kebijakan diskriminatif terhadap warga Palestina– semuanya dikatakan melanggar hukum internasional, yakni Pasal 49 Konvensi Jenewa Keempat.
Pengadilan ICJ mengatakan Israel tidak mempunyai hak atas kedaulatan wilayah tersebut, melanggar hukum internasional yang melarang perolehan wilayah dengan kekerasan dan menghalangi hak warga Palestina untuk menentukan nasib sendiri.
Pendapat ICJ yang disampaikan oleh panel yang terdiri dari 15 hakim dari seluruh dunia, termasuk satu dari Amerika Serikat, tidak memiliki langkah-langkah penegakan hukum, namun kemungkinan akan berdampak pada politik internasional terutama dengan meningkatnya pengawasan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Dikatakan bahwa negara-negara lain diwajibkan untuk tidak “memberikan bantuan atau bantuan dalam mempertahankan” kehadiran Israel di wilayah tersebut.
Israel harus segera mengakhiri pembangunan permukiman dan pemukiman yang ada harus dihapus, menurut ringkasan opini setebal 83 halaman yang dibacakan oleh Salam.
“Penyalahgunaan status Israel sebagai kekuatan pendudukan” menjadikan “kehadirannya di wilayah pendudukan Palestina melanggar hukum”, menurut putusan pengadilan.
Menurut keputusan pengadilan ICJ, pemukiman Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, dan rezim yang terkait dengan mereka, telah didirikan dan dipertahankan dengan melanggar hukum internasional sejak 57 tahun yang lalu.
Pendapat pengadilan diminta pada 2022 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
ICJ, juga dikenal sebagai Pengadilan Dunia, adalah badan tertinggi PBB yang menangani perselisihan antar negara.
Israel merebut Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur –wilayah bersejarah Palestina yang diinginkan Palestina untuk dijadikan negara –dalam perang tahun 1967.
Sejak saat itu, Israel telah membangun permukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur dan terus memperluasnya. Mereka juga memiliki permukiman di Gaza sebelum penarikan diri pada 2005.
PBB dan sebagian besar komunitas internasional menganggap wilayah Palestina sebagai wilayah pendudukan Israel.
Momen penting
Menteri Luar Negeri Palestina, Riyad Maliki mengatakan di Den Haag bahwa keputusan tersebut menandakan “momen penting bagi Palestina, bagi keadilan dan hukum internasional”.
“ICJ memenuhi kewajiban hukum dan moralnya dengan keputusan bersejarah ini. Semua negara kini harus menjunjung tinggi kewajibannya yang jelas, yaitu tidak ada bantuan, tidak ada keterlibatan, tidak ada uang, tidak ada senjata, tidak ada perdagangan, tidak ada apa pun, tidak ada tindakan apa pun untuk mendukung pendudukan ilegal Israel,” tandas Maliki.
Sementara itu, duta besar Palestina untuk PBB Riyad Mansour mengatakan bahwa keputusan tersebut merupakan langkah signifikan, untuk mengakhiri pendudukan dan mencapai hak-hak yang tidak dapat dicabut dari rakyat Palestina, termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri, hak bernegara dan hak untuk kembali.
Hak untuk kembali merupakan tuntutan agar warga Palestina yang terpaksa meninggalkan rumah mereka pada Nakba tahun 1948 dan perang Arab-Israel tahun 1967 diizinkan untuk kembali ke rumah mereka.
Mansour mengatakan timnya akan mempelajari keseluruhan opini dan membedah setiap kalimat.
“Kami akan berkonsultasi dengan banyak teman di PBB dan di seluruh penjuru dunia. Kami akan menghasilkan resolusi yang luar biasa di Majelis Umum PBB,” tambah Mansour.
Reaksi Israel
Pemerintah Israel langsung bereaksi terhadap putusan terbaru ICJ tersebut. Kementerian Luar Negeri Israel mengatakan menolak pendapat ahli ICJ itu dan menyebutnya salah secara fundamental dan sepihak.
Kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengeluarkan pernyataan yang menyebut keputusan tersebut sebagai keputusan kebohongan (decision of lies) yang memutarbalikkan kebenaran sejarah, dan menegaskan bahwa “orang-orang Yahudi bukanlah penjajah di tanah mereka sendiri”.
Jeffrey Nice, seorang pengacara hak asasi manusia, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa akan sulit bagi para pemimpin dunia untuk sepenuhnya mengabaikan keputusan ICJ, meskipun keputusan tersebut tidak mengikat.
Nice mengatakan, ini adalah salah satu bagian dari sistem hukum yang sudah cukup bagus.
Menurut Nice, sulit bagi masyarakat internasional yang tertarik dan peduli masalah Palestina untuk tidak mengatakan, “Sudah waktunya Israel membereskan negaranya.”
Analis politik senior Al Jazeera, Marwan Bishara, mengatakan bahwa ada banyak ruang untuk berharap bahwa keputusan ini akan mendukung sebuah gerakan internasional di seluruh dunia di Barat dan di bagian lain di dunia, yang mendukung lebih banyak sanksi, lebih banyak lagi tekanan pada pemerintah Barat untuk memberikan tekanan lebih besar terhadap Israel.
Tuduhan Afsel tentang Genosida
Dalam kasus terpisah yang diajukan oleh Afrika Selatan, ICJ sedang mempertimbangkan tuduhan bahwa Israel melakukan genosida dalam perangnya di Gaza.
Keputusan awal telah dibuat dalam kasus ini dan pengadilan memerintahkan Israel untuk mencegah dan menghukum hasutan untuk melakukan genosida dan meningkatkan penyediaan bantuan kemanusiaan.
Pada bulan Mei lalu, ICJ juga memerintahkan Israel untuk menghentikan serangannya terhadap Rafah, sebuah kota di Gaza selatan, dengan alasan risiko besar bagi ratusan ribu warga Palestina yang berlindung di sana.
Namun Israel terus melanjutkan serangannya ke Gaza, termasuk Rafah, yang bertentangan dengan pengadilan internasional PBB. (rus)