KABARIKA.ID, MAKASSAR — Universitas Hasanuddin melahirkan banyak pemimpin bangsa dan intelektual di berbagai bidang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Alumni Unhas pernah menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.

Di Indonesia MK didirikan pada 18 Agutus 2003.

Selama 20 tahun berdiri, MK sudah dipimpin oleh 6 ketua berbeda.

Mulai dari Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie S.H, Prof. Dr. Mohammad Mahfud M.D S.H., S.U., M.I.P., Dr. H. M. Akil Mochtar S.H., M.H., Dr. Hamdan Zoelva S.H., M.H., rof. Dr. Arief Hidayat S.H., M.S., dan Prof. Dr. Anwar Usman S.H., M.H.

Hamdan Zoelva adalah mantan Ketua MK jebolan Universitas Hasanuddin.

Ia menyelesaikan pendidikan sarjan hukum di Universitas Hasanuddin.

Berikut profilnya dikutip dari Wikipedia:

Dr. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. (lahir 21 Juni 1962) adalah Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia yang keempat periode 2013–2015. Ia juga pernah menjadi salah satu pengurus Partai Bulan Bintang. Setelah tidak menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia, selain menjadi konsultan hukum dan pengajar di beberapa perguruan tinggi, juga mendapat amanah sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat/Laznah Tanfidziyah Syarikat Islam (ejaan lama: Sarekat Islam)dan juga dipercaya sebagai Koordinator Presidium Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MN KAHMI).

Pendidikan tinggi

Gelar sarjana hukumnya ia dapatkan dari Universitas Hasanuddin, Ujungpandang, di mana ia mengambil jurusan Hukum Internasional.

Saat menjalani kuliah di Universitas Hasanuddin, ayahnya meminta Hamdan untuk mengambil pendidikan tinggi di bindang agama untuk melanjutkan tradisi keluarganya yang berlatar belakang pesantren.

Oleh karena itu, Hamdan memutuskan mendaftar ke Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin, Ujungpandang (1981-1984).

Semasa mahasiswa, Hamdan aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan, salah satunya adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Di organisasi tersebut, ia menjabat sebagai Ketua Badan Koordinasi HMI Indonesia Timur.

Karena kegiatannya mengurus organisasi, ia memilih untuk melepas pendidikannya di IAIN Alaudin meski sudah berkuliah selama tiga tahun dan hampir mendapatkan gelar sarjana muda.

Hamdan juga sempat mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Jakarta (1998–2001), yang juga tidak diselesaikan.

Pada tahun 2004, ia berhasil mendapatkan gelar magister hukum dari Universitas Padjajaran, Bandung, dan meraih gelar doktor S3 di bidang Ilmu Hukum Tata Negara dari universitas yang sama pada tahun 2010, dengan disertasi berjudul Pemakzulan Presiden di Indonesia.

Awal karier

Gedung Mahkamah Konstitusi, sebuah lembaga di mana Hamdan ikut terlibat dalam pendiriannya.

Hamdan memulai kariernya dengan menjadi asisten dosen di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin serta Fakultas Syariah IAIN Ujungpandang (1986-1987).

Ia sempat melamar menjadi dosen, namun ditolak.

Atas saran dosen pembimbingnya, ia merantau ke Jakarta dan bekerja selama tiga tahun sebagai asisten pengacara dan konsultan hukum pada Kantor Hukum OC.

Kaligis & Associates Jakarta yang secara khusus menangani bidang nonlitigasi, pembuatan kontrak dan perjanjian-perjanjian dagang, investasi PMA, perburuhan, negosiasi, dan lain-lain sebelum akhirnya mendirikan kantor hukum sendiri, SPJH&J Law Firm.

Pada tahun 1989, ia diangkat dan dilantik sebagai pengacara dalam lingkungan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Pada tahun 1997, Hamdan memutuskan untuk memisahkan diri dan membangun kantor advokat Hamdan, Sujana, Januardi, dan Partner (HSJ&P) hingga dibubarkan tahun 2004.

Karier politik

Saat reformasi terjadi pada tahun 1998-1999, Hamdan bersama sejumlah rekannya di Forum Ukuwah Islamiyah (FUI) mendirikan partai baru, Partai Bulan Bintang (PBB) dan ditunjuk sebagai wakil sekretaris jenderal.

Di Pemilihan Umum 1999, ia ikut dalam pemilihan calon anggota legislatif dan akhirnya terpilih sebagai anggota DPR mewakili daerah kelahirannya, Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Berkat pengalaman organisasinya, ia juga dipercaya menjadi Sekretaris Fraksi PBB di DPR dan kemudian duduk di badan Musyawarah (Bamus) DPR sekaligus menjadi Wakil Ketua Komisi II DPR bidang Hukum dan Politik.

Posisinya di DPR menjadikannya terlibat langsung merumuskan berbagai kebijakan negara yang strategis, termasuk pemilihan calon presiden dan wakil presiden serta proses pemakzulan presiden.

Pada periode 1999–2002, Hamdan menjadi satu-satunya wakil Fraksi PBB di Panitia Ad Hoc (PAH) I MPR yang membidani perubahan Undang-Undang Dasar 1945.

Ia juga menjadi salah satu tokoh yang turut melahirkan MK lewat perannya sebagai anggota Panitia Khusus Penyusun Rancangan Undang-Undang MK.

Dalam posisi ini, ia terlibat langsung merumuskan berbagai hal mengenai MK, baik organisasi maupun hukum beracara di MK.

Ia juga terlibat sebagai salah satu anggota DPR yang terlibat dalam uji kelayakan dan kepatutan calon hakim konstitusi periode pertama dari unsur DPR.

Karier di Mahkamah Konstitusi

Setelah MK terbentuk, ia bergabung dalam Forum Konstitusi (FK), organisasi yang didirikan para pelaku perubahan UUD 1945, sebagai sekretaris dan bekerja sama dengan MK melakukan sosialisasi dan peningkatan pemahaman tentang UUD 1945 ke berbagai lapisan masyarakat, termasuk lewat buku Naskah Komprehensif Perubahan UUD RI 1945 yang diterbitkan MK.

Selain buku tersebut, ia juga menerbitkan buku Pendidikan Kesadaran Berkonstitusi untuk Siswa Tingkat SD/Madrasah Ibtidaiyah, SMP/Madrasah Tsanawiyah, dan SMA/Madrasah Aliyah.

Ia juga mengikuti sidang-sidang penting di MK dengan berbagai kedudukan, antara lain mewakili DPR dalam sidang pengujian undang-undang dan berkali-kali menjadi saksi ahli di ruang sidang MK.

Pada tahun 2004, ia bersama Januardi S. Hariwibowo mendirikan kantor hukum Hamdan & Januardi Law Firm, yang ia tutup ketika ia diangkat menjadi hakim konstitusi di awal tahun 2010.

Dengan usia 47 tahun, ia merupakan hakim konstitusi termuda pada periode tersebut.

Selain berhenti menjadi advokat, Hamdan juga meninggalkan semua aktivitas politiknya untuk menghindari konflik kepentingan.

Pada 2015, masa tugasnya berakhir dan digantikan oleh I Dewa Gede Palguna, dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Sebagai ketua Mahkamah Konstitusi

Hamdan Zoelva diangkat menjadi ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menggantikan Akil Mochtar yang diberhentikan pada 5 Oktober 2013 karena ditetapkan sebagai tersangka kasus suap sengketa pemilihan kepala daerah, gratifikasi, serta pencucian uang.

Hamdan terpilih melalui mekanisme pemungutan suara dua putaran.

Pemilihan ini diikuti delapan hakim konstitusi, yaitu Hamdan, Harjono, Arief Hidayat, Anwar Usman, Ahmad Fadhil Sumadi, Patrialis Akbar, Muhammad Alim, dan Maria Farida Indriarti, serta dipimpin oleh Hamdan Zoelva sendiri.

Proses voting atau pemungutan suara dipimpin oleh Hamdan dengan disaksikan oleh Sekretaris Jenderal MK Janedjri M Gaaffar dan para pegawai MK.

Pada putaran pertama, Hamdan mengantongi 4 suara, hakim konstitusi Arief Hidayat mengantongi 3 suara, dan Ahmad Fadhil Sumadi dengan 1 suara.

Karena tidak ada yang mencapai perolehan 5 suara untuk memenuhi ketentuan harus meraih suara dari setengah jumlah hakim, maka pemungutan suara putaran kedua digelar.

Pada putaran kedua, Hamdan memenangi pemilihan setelah mengantongi 5 suara. Sementara itu, Arief hanya mengantongi 3 suara.

Dengan hasil ini, Hamdan Zoelva diangkat menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan dilantik pada 1 November 2013.

Posisi Wakil Ketua MK yang sebelumnya ditempati Hamdan menjadi kosong, sehingga dilakukan pemilihan lagi beberapa waktu kemudian.

Pengangkatan Hamdan Zoelva sebagai ketua Mahkamah Konstitusi sempat mengalami polemik mengingat statusnya sebagai mantan politisi Partai Bulan Bintang (PBB).

Hamdan sendiri menyatakan bahwa ia telah melepas semua posisi dan kegiatan politiknya semenjak menjabat menjadi hakim konstitusi pada tahun 2010. (**)