Mutiara Ramadan 1444 H. (6): Kelahiran dan Doktrin Kelompok Khawarij (Bagian 1)

Berita, Inspirasi562 Dilihat

KABARIKA.ID, MAKASSAR – Rubrik Mutiara Ramadan hari ini menurunkan tulisan tentang Khawarij, salah satu aliran yang sudah dikenal luas dalam ilmu kalam. Aliran ini memiliki kemiripan dengan Murji’ah yang kami turunkan kemarin. Secara singkat, kedua aliran ini muncul karena situasi politik terkait dengan kekhalifahan sekitar tahun ke-37 Hijriyah.

Kemunculan Khawarij

Kata khawarij secara etimologis berasal dari bahasa arab kharaja yang berarti ‘keluar’, ‘muncul’, ‘timbul’, atau ‘memberontak’. Abi Al Fath Muhammad Abd Al Karim bin Abi Bakar As Syahrastani dalam kitabnya, Al Milal Wan Nihal menyebut orang yang memberontak terhadap imam yang sah, disebut sebagai Khawarij. Berdasarkan pengertian tersebut, maka setiap muslim yang memiliki sikap laten ingin keluar dari kesatuan umat Islam juga disebut Khawarij.

Kalau dalam terminologi ilmu kalam, Khawarij adalah kelompok atau aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena tidak sepakat terhadap Ali yang menerima tahkim (arbitrase) dalam perang siffin dengan kelompok bughat (pemberontakan) Mu’awiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah pada tahun 37 Hijriyah/648 Miladiyah.

Kelompok Khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada pada pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah sah yang telah dibai’at oleh mayoritas umat Islam. Sedangkan Mu’awiyah berada pada pihak yang salah karena memberontak kepada khalifah yang sah.

Lagi pula, berdasarkan estimasi Khawarij, pihak Ali hampir memperoleh kemenangan pada peperangan itu, tetapi karena Ali menerima tipu daya licik ajakan damai Mu’awiyah, kemenangan yang hampir diraih itu menjadi raib.

Pemicu Kemunculan Kelompok Khawarij

Menurut catatan sejarah, ada beberapa faktor yang memicu lahirnya kelompok Khawarij.

Pertama, fanatisme kesukuan. Sebenarnya fanatisme kesukuan telah hilang pada zaman Rasulullah dan Abu Bakar serta Umar, namun muncul kembali pada zaman pemerintahan Utsman bin Affan dan setelahnya. Pada masa kekhilafahan Utsman bin Affan fanatisme kesukuan tersebut mendapat peluang untuk berkembang karena terjadi persaingan dalam memperebutkan berbagai jabatan penting dalam kekhilafahan sehingga Utsman bin Affan dituduh melakukan nepotisme, karena mengangkat banyak dari keluarganya untuk mengisi jabatan-jabatan strategis di pemerintahannya. Inilah yang dijadikan alasan oleh mereka untuk mengadakan kudeta terhadapnya.

Ilustrasi. (Foto: Ist)

Kedua, faktor ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari kisah Dzul Khuwaishirah bersama Rasulullah dan kudeta berdarahnya mereka terhadap Utsman bin Affan, ketika mereka merampas dan merampok harta baitul-mal langsung setelah membunuh Utsman.

Demikian juga dendam mereka terhadap Ali dalam perang jamal, ketika Ali melarang mereka mengambil wanita dan anak-anak sebagai budak rampasan perang.

“Awal yang membuat kami dendam padamu adalah ketika kami berperang bersamamu di hari peperangan jamal, dan pasukan jamal kalah. Engkau membolehkan kami mengambil apa yang kami temukan dari harta benda dan engkau mencegah kami dari mengambil wanita-wanita mereka dan anak-anak mereka,” kata mereka kepada Ali.

Ketiga, ghirah keagamaan. Semangat keagamaan juga menjadi salah satu penggerak kelompok Khawarij untuk keluar memberontak dari penguasa yang absah. Pada saat itu Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan di balik ajakan damai kelompok Mu’awiyah, sehingga pada mulanya Ali menolak permintaan tersebut.

Akan tetapi, karena desakan sebagian pengikutnya, terutama ahli qurra’, seperti Al-Asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki At-Tamimi, dan Zaid bin Husein Ath-Tha’I, dengan terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar (komandan pasukan Ali) untuk menghentikan peperangan.

Setelah menerima ajakan damai, Ali mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damai. Namun orang-orang Khawarij menolaknya dengan alasan bahwa Abdullah bin Abbas adalah orang yang berasal dari kelompok Ali. Mereka kemudian mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah.

Keputusan tahkim adalah Ali diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya, sementara Mu’awiyah dinobatkan menjadi khalifah oleh delegasinya untuk menggantikan Ali. Keputusan ini sudah pasti mengecewakan orang-orang Khawarij.

Sejak itulah, orang-orang Khawarij membelot dengan mengatakan, ”Mengapa kalian berhukum kepada manusia? Tidak ada hukum selain hukum yang ada pada sisi Allah.”

Mengomentari perkataan mereka, Imam Ali menjawab, ”Itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan dengan keliru.”

Pada waktu itulah orang-orang Khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju Hurura, sehingga Khawarij disebut juga dengan sebutan Hururiah. Kadang-kadang mereka disebut dengan Syurah dan Al-Mariqah.

Di Harura, kelompok Khawarij melanjutkan perlawanan selain kepada Mu’awiyah juga kepada Ali. Di sana mereka mengangkat seorang pemimpin definitif yang bernama Abdullah bin Sahab Ar-Rasyibi. Sebelumnya mereka dipandu Abdullah Al-Kiwa untuk sampai ke Harura. Golongan ini dibangsakan dengan nama kampung ini sehingga bernama Hururiyah.

Doktrin Pokok Khawarij

Kelompok Khawarij memiliki sejumlah doktrin pokok yang menjadi pijakan gerakannya. Yakni:
a. Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam,
b. Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab,
c. Setiap orang muslim berhak menjadi khalifah asal sudah memenuhi syarat,
d. Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syariat Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh jika melakukan
kezaliman,
e. Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan Utsman) adalah sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya, Utsman r.a. dianggap telah menyeleweng,
f. Khalifah Ali juga sah, tetapi setelah terjadi arbitrase, ia dianggap menyeleweng,
g. Mu’awiyah bin Amr bin Al-Ash serta Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir,
h. Pasukan perang jamal yang melawan Ali juga kafir,
i. Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim karenanya harus dibunuh.
j. Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Apabila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam dar al harb (Negara musuh),
sedangkan golongan mereka dianggap berada dalam dar al Islam (Negara Islam)
k. Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng,
l. Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga, sedangkan yang jahat harus masuk kedalam neraka),
m. Amar makruf nahi mungkar,
n. Memalingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang tampak mutasyabihat (samar)
o. Al-Qur’an adalah makhluk, dan
p. Manusia bebas memutuskan perbuatannya, bukan dari Tuhan.

(Muhammad Ruslan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *