“Sang Matahari”, Novel Karya Alumni UNHAS, Rusman Latief

KABARIKA.ID, JAKARTA – Rusman Latief, Alumni Unhas jurusan ilmu pollitik pemerintahan 1989 menulis beberapa buku tentang  pertelevisian  di antaranya, Siaran Televisi Nondrama, Menjadi Produser Televisi, Kreatif Siaran Televisi, Panduan Produksi acara Nondrama, Jurnalistik Sinematografi, dan beberapa buku lainnya.

Novel ” Sang Matahari” karya Rusman Latief.
Novel ” Sang Matahari” karya Rusman Latief

Tahun 2023 ini, baru saja menerbitkan sebuah novel berjudul “Sang Matahari” penerbit Win media bertema Psikologi Pendidikan.

Rusman Latief menjelaskan, ini pertama kali menulis fiksi atau novel, selama ini terbiasa menulis nonfiksi.

“Menulis fiksi atau novel ternyata sangat sulit. Menguras imajinasi yang tinggi, tidak seperti non fiksi yang jika mengalami kesulitan mengembangkan narasi dapat mencari referensi  atau data pendukung yang berhubungan yang ditulis. Menulis fiksi hal itu tidak dapat dilakukan, harus mengembangkan imajinasi tak terbatas tetapi fokus pada peristiwa yang disampaikan,” jelasnya.

Saat ini Rusman Latief berprofesi sebagai dosen tetap di (Akademi Televisi Indonesia) ATVI, dosen tidak tetap di fakultas ilmu Komunikasi Univ Pancasila, Fikom Univ. Mercubuana, Univ Tama Jagakarsa, Dosen Vokasi Multi Media Universitas Indonesia dan Dosen Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta.

Sulitnya menulis novel ini, lanjut Rusman latief  membutuhkan waktu yang cukup lama, lebih 10 tahun baru terbit. Selain karena menulisnya sulit,  juga karena ketidakpercayaan atas isi cerita novel yang ditulisnya. Sehingga tidak berani untuk menerbitkan baik pada penerbit minor apalagi mayor.

Beruntung saja ketemu dengan penulis dari Wong Indonesia Menulis (WIN) yang  membimbingnya sehingga novel ini terbit.

Novel ini, terilhami dari novel fenomenal “Laskar Pelangi” ditulis Adrea Hirata, yang  berkisah tentang kehidupan 10 anak dari keluarga miskin yang sekolah Muhammadiyah di Belitung. Dalam cerita Laskar Pelangi, saat pendaftaran murid kelas satu yang terdaftar hanya 9 murid.

Syaratnya harus 10 jumlah murid, jika tidak sekolah akan ditutup. Berkat kehadiran Harun, yang yang memiliki keistimewaan keterbelakangan mental, murid genap 10 sehingga sekolah batal ditutup.

Sosok Baco Londong

Dalam novel “Sang Matahari” juga bercerita sosok seorang anak laki-laki bernama Baco Londong, 7 tahun, yang lahir dengan keterbelangan mental; lemah berpikir, sulit menangkap pelajaran, dan bicaranya gagap. Dengan keistimewaan yang Tuhan berikan,  menjadi perundungan dan  korban bullying dari lingkungaannya, dari teman sekolah, teman sepermainan,  dan beberapa keluarga besarnya.

Namun, tidak semuanya seperti itu, beberapa teman sekolah, teman sepermainan, dan keluarga peduli dan sayang kepadanya.  Ayah dan Ibunya secara terus menerus mengupayakan doa kesembuhan dan pengobatannya, baik melalui cara  medis, tradisional, dan juga magis.

Dorongan moril yang diberikan orang tuanya untuk menerima takdir dilahirkan sebagai anak dengan tingkat kecerdasannya rendah (idiot). Segala perundungan, hinaan  harus dia diterima, namun dijadikan ditakdir labirin untuk selalu berperilaku dan berbuat baik dilingkungan termasuk kepada yang melakukan perundungan.

Baco Londong pun, mengarungi samudera kehidupan menjadi dirinya sendiri  dengan kemampuan pikiran, hati dan jiwa tulus atas keadaannya.  Alapagi, ada beberapa teman  seusianya  menerima dirinya apa adanya, yang selalu bersama menikmati indahnya bermain dan belajar.

Paling membahagiakan Baco Londong, saat seorang wanita muda,  Ibu Amona, menjadi gurunya. Wanita muda yang baru tamat dari Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Disebutnya “Malaikat”  Guru yang sabar, tidak pernah mengeluh, tidak pernah menghukum, mengajar dengan tulus.

Tidak hanya Baco yang bahagia, tetapi semua murid  bahagia atas kehadiran Ibu Amona yang  mengajar semua mata pelajar di kelas 2 Sekolah Dasar.  Masa itu,  tenaga guru sangat langka,  terutama daerah pelosok seperti Palopo.

Sayangnya, suasana kebahagian belajar yang dinikmati Baco Londong tidak berlangsung lama, karena harus mengikuti orang tuanya  pindah tugas ke  kota Kendari, Sulawesi Tenggara.

Dengan demikian, Baco Londong juga meninggalkan semua kenangan indah bersama sahabatnya.

Dengan pikiran dan jiwa yang dipenuhi tanda tanya;  Apakah dilingkungan yang baru (kota Kendari) menemukan  sahabat yang baik dan guru yang tulus mengajar? Semua tanya itu bersatu dalam pikirannya,  namun Baco optimis, di tempat  yang baru akan  ada  teman-teman  dan guru-guru yang baik. Tuhan akan mengirim untuknya, karena Tuhan sayang dengan keistimewaannya.

Setting Palopo 1960-an

Novel ini ditulis dengan setting kota Palopo, Sulawesi Selatan,  pada tahun 1960-an. Saat hadirannya Negara Islam Indonesia (NII) yang ditumpas oleh  Tentara Republik Indonesia (TNI). Penduduk sipil yang ketakutan lari meninggalkan kampung halaman berpindah  ke hutan untuk bertahan hidup.  Hidup di hutan dengan rasa takut, dan keterbatasan sumber makanan, Lahirlah seorang laki-laki bernama Baco Londong.

Novel ini juga  berkisah percintaan segi tiga, antara Lado Siswanto, kakak sepupu Baco Londong, pemuda tampan dan baik hati, dengan Becce yang masih ada hubungan keluarga keduanya, serta seorang wanita manis dan lembut, Sri Rejeki, kakak kandung sahabat dekat Baco Londong.  Becce sangat tergila-gila cinta kepada Lado, tetapi tidak dalam diri Lado tidak ada rasa cinta. Lado jatuh cinta kepada Sri  Rejeki, sementara Sri tidak menyadari Lado mencintainya.

Dari keseluruhan kisah dalam novel ini, Rusman Latief menyampaikan pesan moral kepada pembaca, bahwa dengan keterbatasan mental adalah sebuah keistimewaan yang diberikan Tuhan. Meskipun akan selalu ada perundungan dari lingkungan, diabaikan saja. Biarkan lingkungan itu berteriak dan berbicara apa saja, pada waktu akan lelahkan menyadari kesalahannya.

Bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan keterbatasan  mental, berikan cinta kasih yang tulus tak terbatas dan doa kebaikan padanya. Sang penguasa alam semesta ini tidak tidur, dapat saja mengirim mujizat sesuai usaha dan permohonan doa kepadanya.

Pesan  terpenting dalam buku ini. kehadiran seorang pendidikan  (guru) yang mendedikasikan profesinya untuk melayanan, membimbing, mendampingi,  menunjukan arah,  berpegang pada semboyan pendidikan Ki Hajar Dewantara, Ing Ngrasa Sung Tulodo – di depan menjadi tauladan, Ing Madya Mangun Karso, di tengah memberikan semangat berkarya, dan Tut Wuri Handayani, di belakang memberikan dorongan dan motivasi.

Murid yang memiliki keterbelakangan mental,  dapat termotivasi dan bangkit untuk menjadi manusia yang bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain. Oleh karena itu, semboyan yang ditulis dalam novel Ini “Tidak Ada Murid Yang Bodoh Yang Ada Murid Belum Menemukan Guru Yang Tepat.” Selamat membaca (rls/shn).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *