Hanan, Kedisiplinan Pesantren Gontor dan Ujian Ketabahan Orang Tua Santri

Berita, Opini1084 Dilihat

 

Oleh Ahmad Musa Said

ANDI Raihanah el Umniyah, gadis yang duduk di kelas 5H Pondok Pesantren Putri Darussalam Gontor itu menangis tersedu-sedu di Masjid Bandara Sultan Hasanuddin. Betapa tidak, kepulangannya ke Makassar kali ini disambut dengan berita duka, ayahnya telah berpulang ke Rahmatullah 12 hari sebelumnya. Namun demi menjaga konsentrasinya menghadapi ujian di pesantren, pembinanya tidak menyampaikan informasi duka tersebut. Bahkan ketika ibundanya mencoba memintakan izin malam Jum’at 9 September lalu, saat ayahnya baru menghembuskan napas terakhir, pembinanya dengan lembut menyampaikan bahwa saat ini Hanan tidak boleh meninggalkan pondok dulu karena begitulah aturan pondok.

Dengan tangisan yang tak bersuara, ibundanya lantas menguatkan diri sambil menitip pesan, tidak apa, nanti pada waktunya Hanan baru kembali. Ibu itu harus bersabar membiarkan anaknya menuntaskan perjuangannya yang berakibat tidak mengetahui kabar duka tersebut dan tidak menghadiri pemakamannya.

Sebaliknya bagi Hanan, tentu kesedihannya tak dapat digambarkan. Betapa tidak, sejak almarhum ayahnya dirawat di rumah sakit karena pendarahan di bagian otak, setiap dia meminta untuk diberi kesempatan bicara dengan ayahnya, ibunya selalu berkata bahwa beliau sedang tidur, hal ini dilakukan agar Hanan konsentrasi mengikuti ujiannya di Pesantren. Bahkan semalam sebelum wafatnya almarhum, Hanan bermimpi melihat ayahnya meninggal, dan ketika mengonfirmasi ke ibunya, ibunya tetap berusaha menenangkan Hanan dan berkata bahwa ayahnya sedang istirahat.

Firasatnya sangat tajam karena kedekatan dengan almarhum ayahnya. Hingga di saat kematiannya, Hanan dapat merasakannya. Dia baca surah Yasin untuk ayahnya sambil menangis hingga tidak mampu menyelesaikan bacaannya akibat kesedihannya. Hanan bingung kenapa dia sesedih itu, namun ingatannya terus menerus tertuju ke ayahnya meskipun dia belum mendapatkan kabar.

Inilah fenomena yang mungkin sulit diterima bagi yang tidak paham, bahwa menitipkan anak ke pesantren itu harus penuh keikhlasan dan ketabahan, sekali kita melepaskan anak ke pesantren, maka kita percaya sepenuhnya bahwa pesantren akan mendidik mereka menjadi orang yang baik dengan segala metodenya. Termasuk ketika pesantren menolak permintaan kita untuk memulangkan anak kita dengan alasan kematian orang tuapun, kenyataan itu mesti siap dihadapi saat mengantar anak menuju pesantren tersebut.

Bagi semua yang berniat memasukkan anaknya ke pesantren, terlebih Gontor, mari kita simak pesan KH. Hasan Abdullah Sahal terhadap orang tua santri dengan akronim TITIP :

  1. Tega

Huruf T yang pertama adalah Tega. Orang tua harus tega meninggalakan anaknya di pondok. Biasanya para ibu punya sindrom gak tegaan. Yakinkan pada diri Anda bahwa di pesantren putra-putri ibu dididik bukan dibuang, diedukasi bukan dipenjara. Harus tega, karena pesantren adalah medan pendidikan dan perjuangan. Yakinlah keadaan anak bapak jauh lebih baik dibanding keadaan saat Nabi Ibrahim alaihissalam meninggalkan putranya di gurun yang tandus tidak ada pohon sekalipun, apalagi MCK dan Warteg.

ربنا إني أسكنت من ذريتي بواد غير ذي زرع …

Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman … (Ibrahim [14]: 37)

  1. Ikhlas

“I”… ikhlas. Sebagaimana kita sadar, bahwa anak kita dididik, dan diajar, kita juga harus ikhlas purta-putri kita menjalani proses pendidikan itu; dilatih, ditempa, diurus, ditugaskan, disuruh hafalan, dibatasi waktu tidurnya, dan sebagainya.

Kalau merasa anak Anda dibuat tidak senyaman hidup di rumah, silakan ambil anak itu serkarang juga.

Pondok bukan funduk (hotel), pesantren tidak menyediakan pesanan. Lagi pula, guru dan ustadz belum tentu dibayar dari uang kita.

  1. Tawakkal

Huruf T kedua adalah Tawakkal. Setelah menetapkan hati untuk tega dan ikhlas, serahkan semua pada Allah. Berdoalah! Karena pesantren bukan tukang sulap, yang dapat mengubah begitu saja santri-santrinya. Kita hanya berusaha, Allah azza wa jalla mengabulkan doa.

Doa orang tua pada anaknya pasti dikabulkan. Minta juga anak untuk rajin berdoa karena doa penuntut ilmu mustajab.

  1. Ikhtiar

Untuk poin ini yang utama adalah dana. Tidak semua pondok merupakan lembaga amal. Banyak pondok yang tidak menggaji ustadznya, masa’ harus dibebani dengan membiayai santrinya juga. Imam Syafi’i sendiri berpesan mengenai syarat menuntut ilmu adalah dirham (baca: uang/rupiah). Insya Allah, semua yang dibayarkan bapak-ibu 100% kembali pada anak-anak.

  1. Percaya

Yang terakhir, Percaya. Percayalah bahwa anak bapak-ibu dibina, betul-betul dibina. Semua yang mereka dapatkan di pondok adalah bentuk pembinaan. Jadi kalau melihat anak-anakmu diperlakukan bagaimanapun, percayalah itu adalah bentuk pembinaan.

Jadi, jangan salah paham, jangan salah sikap, jangan salah persepsi.

Jangan sampai, ketika ibu-bapak berkunjung menjenguk anak, kebetulan melihat putra-putrinya sedang mengangkut sampah, kemudian wali santri mengatakan “ngak bener nih pondok, anak saya ke sini untuk belajar, bukan jadi pembantu”.

Ketahuilah bapak, ibu… putra-putrimu pergi ke pesantren untuk kembali sebagai anak berbakti. Jangan beratkan langkah mereka dengan kesedihanmu. Ikhlaskan, semoga Allah rahmati jalan mereka.

Izinkan saya menutup tulisan ringkas ini dengan sabda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.

زر غبا تزدد حبا

Bertemulah jarang-jarang agar cinta makin berkembang. (Abu Dawud, Ibnu Hibban)

Meski penulis bukan alumni Gontor, namun pesan tersebut sangat penting bagi kita yang ingin menitipkan anak kita ke pesantren.

Hari ini Hanan mungkin sudah berdoa dan menangis di hadapan pusara almarhum ayahnya di Belopa sana, namun dia harus kuat, bahwa masih ada perjuangan yang harus dia tuntaskan di pesantrennya dan di masa yang akan datang. Begitu pula ibunya yang harus bangkit mengingat ada 5 anak yang menjadi yatim dan kini menjadi tanggungjawabnya seorang. Namun kita doakan, semoga kesabaran Hanan dalam menempuh pendidikan dan menaati aturan pesantren, begitu pula ketabahan ibundanya menaati aturan yang telah disepakati di pesantren saat hendak menyekolahkan anaknya di Gontor, dapat menjadi penyebab datangnya Rahmat Allah Swt, dimudahkannya segala urusan dan dilapangkan dalam menjalani kehidupan ke depan.

Fashabrun jamiil, Jayalah pesantren, Jayalah Pendidikan Islam.

———–

Penulis adalah anggota Divisi Keagamaan PP IKA UNHAS dan anggota Majelis Tabligh Muhammadiyah Kota Makassar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *