Buku “Mengalir Melintasi Zaman” : Memoar Inspiratif Tentang Cita dan Cinta

Opini408 Dilihat

Judul Buku : Mengalir Melintasi Zaman (Menebar Ide dan Gagasan Tanpa Batas)

Karya : Prof. DR. A.Arsunan Arsin

Editor : Anis Kurniawan

Penerbit : P3i Press

Cetakan : Pertama, Januari 2018

Tebal : xvi + 282 Halaman

ISBN : 978-602-1381-22-9

Sejak masih mahasiswa (1989-1994), saya sudah mengenal Kak Chunank–nama panggilan akrab Prof.Dr.A. Arsunan Arsin–ini. Diawali saat masuk kuliah di Universitas Hasanuddin, saya salah satu dari 10 mahasiswa baru Teknik UNHAS yang terpilih mengikuti OPSPEK (Orientasi Program Study & Pengenalan Kampus) Pusat 1989 dimana kak Chunan menjadi salah satu Tim Panitia Pengarah disana.

Bersama mahasiswa baru lainnya dari perwakilan berbagai fakultas kami digembleng secara khusus sebagai kader-kader potensial aktivis mahasiswa masa depan dengan berbagai materi kepemimpinan dan motivasi ketika itu.

Saya mengenal sosoknya sebagai senior yang ramah, rendah hati dan asyik diajak berdiskusi, walau rentang waktu angkatan saya dengan kak Chunank terbentang jauh serta berasal dari Fakultas yang berbeda. Senang sekali bisa membaca buku yang ditulis langsung oleh kak Chunank yang juga adalah senior saya di Penerbitan Kampus“Identitas” Unhas ini.

Kisah hidupnya dituturkan dengan renyah mulai dari masa kecil yang begitu berat hingga sepak terjangnya sebagai aktifis mahasiswa di “kampus merah” yang fenomenal dan kiprahnya sebagai staf pengajar di almamater tempat salah satu Profesor muda Unhas yang diraih di usia 44 tahun.

Saya terakhir bertemu secara tak sengaja dengan kak Chunank saat bertemu di sekretariat Temu Alumni Unhas 2016 di kampus Tamalanrea. Kami sempat berfoto bersama merayakan pertemuan tersebut.

Buku ini terbagi atas 5 bagian utama, yaitu Episode 1962-1980 (Masa Kecil di Kampung Halaman), Episode 1981-1990 (Masa Pergulatan sebagai Aktivis Mahasiswa di Unhas), Episode 1991-1998 (Masa Pengembangan Diri sebagai Dosen), Episode 1999-sekarang (Masa Pengabdian dan Transformasi) serta Epilog.

Terdapat pula tambahan “bonus” sepuluh artikel pilihan tulisan kak Chunank yang terkait dengan kompetensinya di bagian akhir.

Di bagian pertama, kak Chunank bercerita tentang masa kecil hingga remajanya. Senin subuh, 3 November 1962, sosoknya lahir ke dunia dari ibu Sumarti Hasanuddin dan ayah Andi Arsin.

Nama ‘Arsunan’diambil dari hari kelahiran, Senin. Kata sang ayah, nama ‘Arsunan’ juga terinspirasi dari ulama besar seperti Sunan Kalijaga, Sunan Bonan dan lainnya. Harapannya, agar kelak sang putra dapat menjadi lelaki yang bermanfaat pada agama, bangsa dan keluarga.

Dalam bab tersebut kak Chunank bertutur:

Pada 1962, kami memulai hidup baru di Talepu. Bapak membangun sebuah gubuk kecil untuk tempat tinggal keluarga kami di atas tanah milik kakek (orangtua dari bapak saya). Gubuk itu jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah kakek. Di gubuk itulah,
kami dibesarkan dengan kisah-kisah haru.

Bapak bekerja sebagai petani di sawah dan berkebun. Saya masih ingat betul, setelah matahari terbit, Bapak sudah beranjak ke sawah. Sementara Ibu selalu menyiapkan jamuan makan untuk Bapak—dan kami terbiasa menikmati makan malam sederhana sesaat setelah senja tenggelam—atau hanya beberapa menit setelah Bapak mengganti pakaian kerjanya dari sawah.

Bapak dan Ibu termasuk manusia beruntung, sebelum saya masuk usia sekolah, keduanya lulus menjadi guru. Bapak guru kelas (1966), sementara Ibu menjadi guru agama (1967). Keduanya ditempatkan di sebuah sekolah dasar yang sama yakni SD 108 Talepu. Maka saat masuk di sekolah dasar, status saya adalah anak guru.

Pengalaman masa kecil yang tak mudah, sekaligus paduan didikan sang ayah yang tegas, disiplin dan kharismatik serta ibu yang lemah lembut, menempa sosok Chunank cilik menjadi pribadi yang tangguh dan tahan banting.

Pada bab 2 (yang terdiri atas 16 bagian) diceritakan, saat memasuki dunia mahasiswa di Universitas Hasanuddin kehidupan kak Chunank semakin “berwarna”.  Sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi, kak Chunank memperluas wawasan pergaulannya tak berhenti pada sekitar fakultasnya saja namun juga hingga lintas Fakultas, bahkan lintas Universitas sebagai aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).  Berbagai pengalaman seru dituturkan disana, salah satunya di bagian “Memimpin Aksi Pembelaan pada Senior yang terancam Drop Out“.

Empat orang senior di FKG (tidak perlu saya sebut namanya) dikabarkan terancam DO (drop out). Surat keterangan DO-nya bahkan sudah hampir ditandatangani oleh pimpinan universitas. Tinggal menunggu rekomendasi dari fakultas. Saya dan teman-teman dirundung gelisah lantaran kabar tak sedap itu. Betapa pun, solidaritas antar mahasiswa harus diperkuat.

Bagaimana sebetulnya duduk permasalahannya sehingga ke empat senior tersebut terancam DO? Dari hasil diskusi secara mendalam, disimpulkanlah bahwa akar masalah utama yang menimpa mereka adalah adanya segelintir dosen yang mempersulit proses akademik senior kami tersebut.
Kalau tidak salah, ada mata kuliah yang sudah 3 atau 4 kali diprogramkan dan tidak lulus. Padahal mahasiswa tersebut sebetulnya sudah diberi kebijakan untuk lulus karena semua persyaratan yang disyaratkan mata kuliah tersebut sudah terpenuhi.

Maka, pada tanggal 25 April 1987, protes kami lancarkan pada birokrasi kampus. Saya dipercaya oleh kawan-kawan untuk memimpin aksi tersebut. Sejak pagi, kawan-kawan mahasiswa sudah berkumpul dan berkonsolidasi merapatkan barisan untuk bergerak. Kami sepakat bahwa hari itu tidak ada aktivitas akademik (kuliah dan praktikum). Beberapa dosen tetap datang untuk mengajar, tetapi kami minta pada semua mahasiswa untuk menolak masuk dalam kelas. Ini demi solidaritas!

Aksi tersebut didukung oleh segenap mahasiswa FKG. Aksi berjalan kaki digelar menuju rektorat yang berjarak sekitar 300 meter dari fakultas. Dalam perjalanan, lagu-lagu perlawanan kami lantunkan.

Berbagai nada protes kami tuliskan di atas kartun juga spanduk dan kami suguhkan dengan tegas. Setelah tiba di rektorat, perwakilan peserta aksi diterima di ruang sidang rektorat oleh Pembantu Rektor III (Nur Nasry Noor), sebagian kawan mahasiswa tetap merapat di luar gedung.

Saya diminta berbicara dan menjelaskan latar belakang dan substansi dari tuntutan aksi. Saya menyampaikan kronologis mengapa senior-senior tersebut terancam DO. Kawan-kawan saya yang lain juga ikut menambahkan agar informasi yang kami sampaikan semakin jelas. Pak Nur Nasry memberikan tanggapan yang sangat objektif dan berjanji untuk membantu semaksimal mungkin agar harapan kami bisa terpenuhi.

Aksi ini menjadi topik pembicaraan di beberapa kalangan. Esok harinya, 26 April 1987, pemberitaan mengenai masalah ini muncul di berbagai media. Surat kabar Kompas bahkan memuat berita aksi tersebut dengan judul berita ‘Mahasiswa FKG Unhas Unjuk Gigi’ disertai foto.

Solidaritas mahasiswa memang sangat kuat pada kasus ini, mungkin karena merasa senasib sepenanggungan. Sebetulnya, apa yang dialami oleh empat senior tersebut juga sering kami
alami. Jadi, bukan rahasia umum lagi bahwa memang ada oknum dosen yang cenderung mempersulit mahasiswa. Kalau kami terus membiarkan berlarut-larut, maka dikhawatirkan akan banyak berimbas pada mahasiswa lainnya.

Beberapa hari setelahnya, empat orang senior yang terancam DO akhirnya dinyatakan bebas dari ancaman dan sanksi. Kini, ke empatnya sukses menjadi dokter dan berkarir pada dinas
kesehatan di beberapa daerah.

Kisah-kisah masa mahasiswa kak Chunank, yang kini menjabat sebagai Guru Besar Tetap bidang Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat UNHAS, tak berhenti sampai disitu.

Pengalamannya aktif di HMI, menggagas dan mendirikan Korpala (Korps Pecinta Alam) UNHAS, kiprah sebagai wartawan di Penerbitan.

Kampus “Identitas”, kegemarannya menulis puisi-puisi, episode kisah cintanya yang menggemaskan, sampai pengalamannya “diarak” meriah oleh para juniornya ala paduka Raja saat wisuda, membuat buku memoar ini kian menarik.

Gaya bertuturnya mengalir lancar dan membuat saya tak sabar membuka halaman demi halaman. Potongan-potongan kisah dijalin menjadi mozaik-mozaik indah yang memperkaya batin.

Beberapa kali saya sempat tersenyum-senyum sendiri sembari ikut mengenang masa muda saya saat jadi mahasiswa Teknik UNHAS.

Pada bab berikutnya, kak Chunank menceritakan masa pengembangan dirinya sebagai Dosen. Bagian paling menarik adalah hanya kurang 24 jam pasca wisuda, kak Chunank “diterima” sebagai dosen UNHAS. Bagaimana bisa? Begini kisahnya:

Saya diwisuda pada jam 12 siang, sepuluh September 1990. Pukul 8 pagi besoknya (11 September), saya tes dosen di FKM Unhas dan mendapat ‘kabar’ bahwa saya kemungkinan besar lulus. Jarak antara status sebagai mahasiswa dan sebagai dosen berlangsung kurang dari 24 jam.

Kesempatan tidak pernah datang dua kali. Ini soal momentum dan pilihan jiwa. Formasi dosen di FKM yang akan diterima saat itu adalah satu orang dokter gigi. Pendaftarnya hanya dua orang. Tetapi,
menjelang tes, dokter gigi satunya pindah melamar jadi dosen di Fakultas Kedokteran Gigi. Saya yakin pasti lulus, karena tinggal saya sendiri kandidatnya. Apalagi, sebelum pengumuman, Dekan
FKM waktu itu Drs. Med. Nur Nasry Noor, MPH., terlebih dahulu memberi ‘kode’ bahwa saya lulus.

Setelah pengumuman dan dinyatakan lulus, kabar baik ini pun saya sampaikan pada orang tua di kampung. Bapak dan Ibu, sangat bahagia. Mereka langsung sujud syukur atas kabar gembira tersebut. Di kampus, satu persatu kawan-kawan berdatangan memberi ucapan selamat. Mereka bahagia dengan kelulusan saya sebagai representasi aktivis mahasiswa. Betapapun juga, kelulusan saya menjadi momen berharga sebagai pembuktian integritas dan kapasitas sebagai mantan aktivis kampus.

Sebagai mantan aktivis kampus, menjalani kehidupan sebagai dosen ternyata menjadi bagian dari komitmen kuat dan panggilan jiwa kak Chunank untuk mengabdi kembali kepada almamater, mempersembahkan kontribusi pengalaman serta pengetahuan terbaik untuk generasi penerus harapan bangsa.

Pada Bab ini, diceritakan kak Chunank pelan-pelan mulai meninggalkan pusaran gerakan mahasiswa dan mulai fokus pada pengembangan karirnya di masa depan termasuk melanjutkan jenjang pendidikan lebih tinggi di Universitas Airlangga, Surabaya.

Ternyata keseruan di bab sebelumnya itu masih berlanjut di bab ini. Kisah “jatuh bangun”menuntut ilmu di daerah orang juga tak kalah “meriah”-nya. Terutama ketika “menyeberang” disiplin keilmuan dari Kedokteran Gigi ke Kesehatan Masyarakat bukanlah hal yang mudah.

Untunglah kemampuannya beradaptasi dibekali pengalaman berorganisasi di masa jadi mahasiswa dulu sedikit banyak membantu kak Chunank untuk melewati tantangan itu dengan baik. Di bab ini pula, kak Chunank menceritakan kisah pertemuannya dengan istri tercinta, A. Aisyah.S.Haddade. Pasangan ini telah memiliki 2 anak, sejak pernikahan di tahun 1996.

Saya juga terkesan bagaimana kak Chunank bercerita ketika ikut serta gelombang aksi mahasiswa untuk Reformasi tahun 1998. Kak Chunank bahkan turun ke jalan dengan ratusan mahasiswa dan masyarakat dengan melakukan ‘long march’ dari Kampus Unhas Tamalanrea berjalan kaki menuju Lapangan Karebosi pada 20 Mei 1998.

Di Kantor Gubernur Sulsel kak Chunank, bersama Amran Razak (Pembantu Rektor III Unhas), Alfian Mallarangeng (yang baru pulang sekolah dari Amerika
waktu itu), serta sejumlah aktivis mahasiswa UNHAS menyampaikan orasi disana.

Pada bab terakhir yang menceritakan Masa pengabdian dan Transformasi, kak Chunank menyampaikan sejumlah kisah pengalaman risetnya hingga ke beberapa daerah khususnya di wilayah Indonesia Timur. Salah satu risetnya adalah pada analisis biomolekuler dan variasi gen pada penderita malaria khususnya di daerah pesisir dan kepulauan.

Saat mengikuti pertemuan APACPH (Asia-Pacific Academic Consortium for Public Health) ke-38 di Bangkok Thailand, awal Desember 2006, kak Chunank mendapat kesempatan emas untuk mempersentasikan hasil penelitian yang sekaligus disertasinya berjudul “The Analysis Climate factors of Malaria Occurrence in Kapoposang Island, Pangkajene Kepulauan District, South Sulawesi Province”. 

Penelitian ini saya lakukan selama setahun (1 Januari sampai 31 Desember 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor iklim berpengaruh terhadap insiden kejadian penyakit malaria di
Pulau Kapoposang, Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan. Hasil penelitian tersebut saya buatkan poster dengan format; judul penelitian, abstrak penelitian, metode penelitian, pembahasan dan simpulan.

Poster dipajang di arena konferensi dan di sela waktu presentasi, para peserta mendatangi sebuah
aula yang disiapkan untuk pameran poster hasil penelitian. Saya Meraih ‘Poster Popular Vote’ di Bangkok Thailand. Saya bersyukur karena poster saya termasuk salah satu yang ramai pengunjung.

Berbagai pertanyaan dan permintaan klarifikasi dari pengunjung, saya dan tim menjawab dengan baik.
Kami menjelaskan kepada mereka tentang kondisi geografis Pulau Kapoposang. Saya gambarkan pada mereka bahwa Kapoposang merupakan suatu tempat wisata yang indah. Kapoposang sangat cocok bagi para penyelam yang ingin menyaksikan keindahan bawah laut dengan aneka terumbu karang dan ikan-ikan hiasnya.

Sayangnya, salah satu yang mencemaskan di pulau tersebut adalah adanya penyakit yang menetap atau endemik yakni penyakit malaria. Dijelaskan lebih lanjut bahwa kejadian penyakit malaria terjadi sepanjang tahun, meski angkanya ‘naik-turun’. Kondisi cuaca di pulau tersebut ikut berkontribusi terhadap malaria.

Musim hujan di bulan-bulan tertentu cenderung juga membuat munculnya kasus baru penderita malaria. Hal ini terkait langsung dengan meningkatnya jumlah genangan air di pemukiman penduduk dan lagon yang ada di pulau tersebut juga semakin terisi air. Dengan meningkatnya jumlah genangan air, berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Anopheles yang menjadi vektor atau penjangkit penyakit malaria.

Curah hujan yang tinggi berpengaruh linear dengan kelembapan yang meningkat dan rata-rata kelembapan pada musim hujan di pulau tersebut berkisar 75-85 %. Kondisi ini memicu nyamuk yang secara alami akan merasakan lapar dan aktif mencari makanan atau dalam hal ini mencari darah untuk mematangkan sel telur di dalam perutnya. Selain itu, suhu rata-rata di musim hujan yang hanya dikisaran 25-29 derajat Celcius membuat nyamuk merasa nyaman untuk melakukan aktivitas menggigit dan menghisap darah penduduk pulau tersebut.

Di akhir sesi pameran, panitia mengumumkan siapa peraih ‘poster populer vote’ dan saya bersyukur poster tersebut terpilih sebagai pemenang pertama. Dan mendapatkan reward dan sertifikat dari panitia APACPH.

Secara umum, Memoar yang ditulis langsung oleh kak Chunank yang juga Dewan Pakar ICMI Provinsi Sulawesi Selatan dan Ketua Komisi III Senat Akademik Universitas Hasanuddin ini, menampilkan narasi yang apik dan inspiratif.

Saya merasa sedang melihatnya bercerita langsung tepat persis di hadapan saya, sorot mata tajamnya terlihat jelas ketika bertutur hal serius dan tawanya yang lepas nampak ketika bercerita hal-hal lucu.

Persis seperti dulu saat kami, para mahasiswa junior peserta OPSPEK Pusat 1989, duduk lesehan menyimak pemaparannya yang lugas dan menarik.

Berbeda dengan sosok aktivis Mahasiswa Unhas era 70-80-an, kak Amran Razak yang juga menulis memoar dalam bukunya “Demonstran Dari Lorong Kambing” (saya menuliskan resensinya disini) , kak Chunank sebagai aktivis Mahasiswa Unhas era 80-90-an menorehkan kisahnya sesuai tantangan zaman masing-masing. Keduanya adalah “legenda”.

Mereka telah menuliskan pengalaman masing-masing sama menariknya dan memberikan aksentuasi jelas pada sikap mereka untuk tetap merawat idealisme dan spirit perjuangan pada medan pengabdian yang dipilih saat ini.

Saya sependapat dengan apa yang diungkap pak Hamdan Zoelva (Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi 2013-2015 & Ketua Umum Syarikat Islam Indonesia) dalam testimoni di buku ini:

Kebesaran hati dan kemauan keras ‘pelaku’ pergerakan dan organisatoris mahasiswa pada era 80-an, Kanda Prof. Dr. drg. A. Arsunan Arsin untuk berkhidmat dan mewakafkan waktunya menulis buku: ‘Mengalir Melintasi Zaman’ harus diapresiasi. Buku ini merupakan tanda sebuah gairah dan inspirasi yang dibagi untuk anak-anak muda dan semua yang ingin melihat Indonesia lebih baik.

Kak Chunank secara cerdas dan bersahaja, menampilkan sosok dirinya tak hanya sebagai mantan aktivis mahasiswa fenomenal pada zamannya yang konsisten memperjuangkan keadilan bagi semua pihak namun pada saat yang sama, mengokohkan integritas keilmuan yang dimilikinya dengan kehandalan kompetensi sebagai seorang Guru Besar.

Untaian kata yang tersaji di buku ini membuat kita betah membacanya hingga halaman terakhir, meski sangat disayangkan tidak ada foto-foto terkait yang menggambarkan relevansi kisah yang disampaikan .

Ada begitu banyak percik-percik hikmah dan menjadi pelajaran terbaik untuk menata langkah di masa depan.

Sukses terus untuk kak Chunank!

Resensi ditulis oleh Amril Taufik Gobel

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *