Memandirikan Peternakan Ayam Rakyat

Oleh Ali Rahman, Tenaga Ahli Utama Kawasan Terpadu Nusantara (KTN) BNPT

Berita, Opini766 Dilihat

AKHIR-akhir ini berita seputar bisnis peternakan, khususnya peternakan ayam menyiratkan suramnya masa depan bisnis tersebut. Harga daging ayam broiler mahal dan langka. Peternakan mandiri yang dikelola para UMKM peternakan rakyat banyak yang gulung tikar. Belum lagi langkanya suplai day old chicken (DOC) dan naiknya harga pakan seolah melengkapi hilangnya harapan bangkitnya peternakan ayam mandiri milik para peternak skala UMKM.

Berbagai kebijakan pemerintah yang dikaitkan dengan upaya menyelamatkan bisnis peternakan sedang terus diupayakan. Di antaranya dengan masuknya program perbaikan gizi rakyat yang terkategorikan rawan gizi buruk/stunting. Pemerintah menyediakan sumber protein dalam bentuk daging ayam dan telor untuk dibagikan di tujuh provinsi. Ini sebagai langkah awal dan jika berhasil tidak menutup kemungkinan akan dikembangkan di provinsi lainnya. Untuk menjalankan program ini telah ditunjuk BUMN pangan (id.food) sebagai koordinator program tersebut.

Akar Masalah Peternakan

Ambruknya struktur industri yang dibangun pada zaman Orde Baru adalah karena fondasi industri yang dibangun mengandalkan komponen bahan baku maupun teknologi dari negara lain (footloose industry). Indonesia hanya berkontribusi dalam buruh murah dan kebijakan yang memudahkan investor untuk menempatkan pabriknya di negara kita. Seperti pajak murah, buruh murah, bahkan persyaratan AMDAL pun begitu lentur diberikan, padahal sangat berpotensi merusak lingkungan.

Sehingga ketika terjadi gejolak ekonomi global, Indonesia terkena dampaknya. Maka saat krisis moneter pada 1997 banyak industri di Tanah Air yang ambruk, bangkrut yang pada akhirnya rakyat jualah yang menjadi korban.

Industri peternakan hampir mirip dengan model tersebut atau bahkan memang terkategorikan footlose industry. Seperti kita ketahui grand parent stock (GPS) ayam masih disuplai dari negara lain, padahal itu urat nadi bisnisnya. Atau, dengan kata lain DOC merupakan bahan baku utama dari bisnis peternakan pedaging maupun petelor. Selain DOC juga pakan dan obat-obatan yang komponen utamanya bahkan pabriknya pun sebagian besar dimiliki oleh mitra investor dari negara lain. Bangsa ini hanya jadi tukang kuli pembesaran (pedaging) atau mengurus ayam untuk menghasilkan telor saja.

Dan, ketika ada gejolak atau sangat dimungkinkan ada perubahan rencana bisnis dari negara vendor teknologi (GPS dan pakan), maka akan diciptakan gejolak bisnis peternakan di Tanah Air kita. Saat ini kita rasakan daging langka dan sudah pasti mahal, telor juga sama.

Ada kemungkinan ketika daging ayam beku yang didorong untuk dijual, maka ke depan akan ada impor daging ayam beku. Sehingga tidak perlu ada peternakan ayam mandiri rakyat, cukup kebutuhan ayam didatangkan dari negara lain dalam bentuk ayam beku. Bahkan sekarang sudah lama dikembangkan telor ayam cair. Hal yang tidak sulit sebentar lagi kita tidak perlu ada peternakan ayam petelor karena telor cair impor sudah banyak di pasaran. Lantas, quo vadis bisnis peternakan ayam di Indonesia?

Sinergi BRIN dan BUMN Pangan

Konstruksi bisnis peternakan ayam di negara kita harus diubah. Kita sudah memiliki ahli-ahli genetika di bidang perunggasan. Alat dan teknologi penunjang pun di BRIN atau di kampus-kampus ternama kita yakin ada. Berbagai hasil riset yang mengantarkan para guru besar bidang peternakan sudah banyak. Lantas, kenapa bisnis peternakan masih mengandalkan GPS dan pakan dari para importir? Mari kita cari solusi yang benar dan fundamental.

Pemerintah memiliki BUMN pangan yang sudah dikelompokkan menjadi id.food dengan RNI sebagai holding company. Di dalamnya ada BUMN yang fokus pada peternakan yaitu PT Berdikari. Kalau kita cermati sebenarnya ekosistem bisnis peternakan sudah sangat lengkap dan siap berlari. Lembaga penyedia ilmu dan teknologi kita punya BRIN. Penyedia pembiayaan sudah ada skema KUR dari perbankan dan bahkan ada LPDB di Kementerian Koperasi serta ada skema resi gudang untuk sumber pembiayaan yang menjadikan stok produk daging beku sebagai collateral.

Tanah untuk budi daya bahan baku pakan (jagung, sorgum, koro, indigofera, tepung ikan) juga ada. Kita punya skema hutan agroforestry di BUMN kehutanan. Jadi di mana mandeknya semua ini? Semua kita punya, tapi impor pangan terus tumbuh.

Perlu ada kebijakan insentif dan disinsentif dari pemerintah yang sudah seharusnya dilakukan untuk merangsang tumbuhnya ekosistem bisnis peternakan yang berkeadilan. Riset dengan beragam skema yang disediakan kementerian/BRIN harus fokus dan sistematis. Masalah pangan adalah masalah utama kehidupan suatu bangsa. Pada 1952 saat Presiden Sukarno mendirikan bangunan Fakultas Pertanian IPB sudah mengeluarkan maklumat bahwa masalah pangan adalah masalah hidup dan matinya suatu bangsa. Kalau masalah yang paling fundamental sudah diserahkan kepada negara lain, tinggal tunggu kehancuran bagi bangsa tersebut.

Ekosistem Peternakan Mandiri

BUMN pangan harus lebih agresif dalam mendorong dan mencitpakan iklim kolaborasi dengan lembaga riset maupun kampus. Menyisihkan hasil keuntungan untuk riset atau bahkan iuran dari keuntungan (levy and grant) sudah menjadi keharusan. Lembaga riset (BRIN/kampus) fokus dalam menghasilkan indukan ayam, baik untuk pedaging maupun petelor dari ras ayam asli Indonesia.

Sedikit harapan sudah mulai muncul dari Balai Perbibitan Ternak Unggas (BPTU) Jatiwangi, Jawa Barat yang sudah memiliki indukan ayam kampung. Mudah-mudahan terus didukung dan dikembangkan inovasi-inovasi seperti itu.

Selain membuat kebijakan levy and grant, BUMN pangan juga ditutut untuk membangun model bisnis kemitraan secara permanen dengan koperasi peternak ayam mandiri (simbiosis mutualisme). BUMN pangan fokus sebagai off taker daging/telor dan membangun pabrik pakan. Sementara koperasi peternak fokus pada budi daya dan pembangunan Rumah Potong Hewan Uggas (RPHU). Dengan dimilikinya RPHU oleh koperasi, bisnis Skema Resi Gudang (RSG)) bisa dijalankan. Artinya, selain adanya nilai tambah yang dijual oleh koperasi berupa ayam beku, juga stok ayam beku yang tersimpan di RPHU bisa masuk skema SRG. Sehingga koperasi akan memiliki sumber pembiayaan dari model bisnis SRG tersebut.

Sinergi Antar-BUMN

Untuk pabrik pakan yang dibangun oleh BUMN pangan dapat bersinergi dengan BUMN kehutanan/perkebunan sebagai penyuplai bahan baku pakan. Budi daya jagung/koro/ sorgum dengan pola agroforestry merupakan teknik budi daya yang sudah biasa dikembangkan oleh BUMN kehutanan. Tinggal bagaimana para Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang membudidayakan tanaman pakan tersebut mendapat kepastian jual dengan harga yang saling menguntungkan dari pabrik pakan (BUMN pangan).

Hal yang sama untuk menyediakan kebutuhan vaksin dan obat-obatan. BUMN farmasi/kesehatan sudah sangat canggih dalam memproduksi vaksin maupun obat-obatan. Selama pandemi kemarin BUMN kesehatan sudah memproduksi vaksin Covid-19 maupun obat-obatan. Hal yang sama tentu bisa dilakukan untuk kebutuhan sektor peternakan.

Ketika ekosistem ini tumbuh dan berkembang sebagai model bisnis peternakan, maka tidak ada yang tidak mungkin dalam lima atau sepuluh tahun ke depan bangsa ini akan tumbuh sebagai pemasok sumber protein berkualitas (green product) bagi dunia. BUMN pangan, BUMN kehutanan, dan BUMN kesehatan akan menjadi trigger bagi sektor swasta dan koperasi untuk terus bersinergi dan berinovasi untuk memperkuat sektor hulu dan end product di sektor hilir. Swasta dapat masuk lebih hilir misal dengan menghasilkan produk-produk daging olahan yang lebih bervariasi dengan nilai tambah yang lebih besar.

Melalui skema tersebut di mana BUMN pangan sebagai motor penggerak utama menuju swasembada pangan, model bisnis serupa bisa diterapkan untuk membangun swasembada bisnis perikanan, sapi, maupun minyak nabati misalnya. Tidak ada yang sulit kalau ada kemauan dan keberpihakan. Sudah selayaknya model bisnis seperti itu dijadikan arus utama pembangunan ekonomi untuk sektor riil. Intinya membangun kekuatan ekonomi sendiri yang berdaya saing global dengan menumbuhkan dan memperkuat peran ekonomi kerakyatan di tingkat pedesaan.

Dana desa, BUMDes, Koperasi Produsen, dan BUMD akan menjadi mata rantai penting dalam membangun kolaborasi bisnis BUMN pangan dalam mempercepat proses kemandirian pangan yang permanen dan berkeadilan. Kita berharap ini akan menjadi visi utama para wakil rakyat maupun para capres pada 2024. (**)

Ali Rahman alumni IPB, Tenaga Ahli Utama Kawasan Terpadu Nusantara (KTN) BNPT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *